(Suhardi, Wisnu Subagyo)
Wayang adalah sebuah karya seni yang penuh simbol dan nilai-nilai filosofi tentang kehidupan manusia. Ia banyak menampilkan aspek-aspek dan problem-problem kehidupan manusia baik sebagai individu maupun warga masyarakat luas. Wayang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada jamannya. Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbagai pewatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Misal watak baik, buruk, kesetiaan dan lain-lain.
Ada banyak tokoh dalam seri Ramayana. Karena berbagai keterbatasan tokoh yang dijadikan contoh terutama Dewi Shinta, Raden Gunawan Wibisana, Raden Subali, Raden Sugriwa dan Patih Prahasta.
Dewi Shinta adalah putri Prabu Janaka dari kerajaan Mantili. Ia menjadi istri Rama setelah melalui sayembara. Raden Gunawan Wibisana adalah putra Dewi Sukesi dengan Resi Wisrawa. Ia terpaksa meninggalkan negara Alengka dan berpihak pada Rama karena tidak setuju dengan perbuatan kakaknya (Prabu Dasamuka raja Alengka) yang menculik Sinta. Raden Subali dan Sugriwa adalah putra Resi Gotama dan Dewi Windradi. Semula mereka berwajah tampan dengan nama Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi. Akibat perbuatannya sendiri (berebut sebuah cupu) mereka berubah wujud menjadi kera dan namanya pun ikut diganti. Patih Prahasta adalah putra Prabu Sumali dengan Dewi Danuwati. Prahasta adalah adik Dewi Sukesi dan pada waktu Dasamuka mendi raja ia diangkat menjadi patihnya.
Kelima tokoh di atas memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri yang bisa diambil hikmahnya dalam kehidupan kita. Banyak nilai-nilai yang dapat diambil dan dipelajari.
Nilai kesetiaan.
Nilai kesetiaan pada Dewi Shinta sangat jelas. Dia rela menderita dengan ikut Rama hidup di hutan. Juga ketika dalam cengkeraman Raja Dasamuka yang ingin memperistrinya, ia tak bergeming sedikit pun walaupun diiming-imingi berbagai hal. Selain kesetiaan hal ini juga menunjukkan kesucian hatinya. Nilai kesetiaan juga diperlihatkan oleh Patih Prahasta yang rela mati (dalam perang melawan Rama). Ia rela mati bukan membela Dasamuka yang angkara murka, tetapi karena kesetiaan pada negaranya dan ketidakrelaannya melihat prajurit Alengka banyak yang mati atau menderita karena perang melawan pasukan Rama.
Nilai kepatuhan.
Kepatuhan memiliki nilai tinggi (dihargai dan dihormati) buat orang yang menjalankannya, karena menjadi tolok ukur tentang kehormatan, harga diri dan kepahlawanan seseorang. Dewi Shinta patuh ketika menerima nsehat ayahnya untuk mengadakan sayembara memilih suami. Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi (Subali dan Sugriwa) mematuhi perintah ayahnya untuk bertapa memohon ampun pada Tuhan sebagai penebus perbuatannya.
Nilai kepemilikan.
Memiliki sesuatu itu (misal rumah, gelar, istri/suami) ada aturan atau undang-undangnya. Artinya siapapun yang memiliki sesuatu keberadaannya dilindungi undang-undang. Rama yang telah memiliki Shinta tidak dapat diganggu gugat. Shinta yang telah “dimiliki” Rama (sebagai suami) pun berusaha menjaga nilai kepemilikan tersebut. Prahasta yang merasa memiliki negara Alengka merelakan kematiannya karena membela negaranya. Ia mati demi harga dirinya dan harga diri negara, bukan membela Dasamuka yang angkara murka.
Nilai kearifan dan kebijaksanaan.
Arif berarti tahu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah sifat dan sikap yang dapat menempatkan suatu masalah pada proporsi yang benar menurut aturan yang berlaku. Karena itu rasa moral yang tinggi seharusnya melandasi semua pikiran dan tingkah laku pemimpin. Dasamuka adalah raja yang tidak arif dan bijaksana sehingga membawa kehancuran bagi rakyat dan negaranya. Wibisana adalah tokoh yang arif dan bijaksana serta luas pengetahuannya. Wibisana selalu menghargai pendapat orang lain baik penguasa maupun rakyat kecil, selalu dapat menimbang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Nilai ksatria.
Sifat satria adalah sifat yang selalu membela kebenaran, tidak takut menghadapi kesulitan serta bersedia mengakui kekurangan atau kesalahannya. Atas dasar hal tersebut Wibisana berani mengesampingkan nilai “berbakti” pada kakaknya. Ia dengan berani tidak henti-hentinya menasehati Dasamuka agar mengembalikan Shinta pada Rama, walaupun akibatnya ia diusir oleh kakaknya. Wibisana rela meninggalkan kemewahannya di Alengka sebagai konskuensi dari tindakannya. Hal ini juga mencerminkan sikap keteguhan hatinya.
Nilai pengendalian diri.
Pengendalian diri adalah sikap batin manusia dalam usaha mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaaskan pamrihnya untuk mendapatkan keselarasan hidup. Sugriwa dan Subali adalah gambaran manusia yang kurang bisa mengendalikan diri. Sekalipun mengetahui ibunya telah menjadi tugu, mereka belum sadar akan perbuatannya dan tetap berebut sebuah cupu, penyebab malapetaka keluarga Resi Gotama.
Nilai ketekunan dan keuletan.
Ketekunan dan keuletan diartikan sebagai sikap tidak menyerah pada berbagai rintangan atau hambatan yang dihadapi demi mencapai cita-cita atau tujuan (terlepas dari baik atau buruk tujuan tersebut). Subali dan Sugriwa dengan sekuat tenaga berusaha memiliki cupu, juga dengan tekun dan ulet melaksanakan tapa yang berat sebagai penebus perbuatannya.
Nilai etika.
Berdasarkan etika seseorang harus dapat membedakan hal yang buruk dan baik, hal yang benar dan hal yang salah. Prahasta adalah gambaran orang yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Ia penasehat Prabu Dasamuka sekalipun nasehatnya tidak pernah diperhatikan. Ia menghadapi “buah simalakama” tetapi tetap harus memilih. Akhirnya ia memilih menjadi senapati Alengka bukan karena membela Dasamuka tetapi membela negaranya.
Dari uraian di atas jelas terkandung nilai-nilai pendidikan, baik pendidikan yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia maupun manusia dengan lingkungan alam. Yang baik adalah manusia bisa menjaga keharmonisan hubungan tersebut.
(Di sadur dari Tembi.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar