7.20.2007

Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Ramayana dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak

(Suhardi, Wisnu Subagyo)

Wayang adalah sebuah karya seni yang penuh simbol dan nilai-nilai filosofi tentang kehidupan manusia. Ia banyak menampilkan aspek-aspek dan problem-problem kehidupan manusia baik sebagai individu maupun warga masyarakat luas. Wayang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada jamannya. Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbagai pewatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Misal watak baik, buruk, kesetiaan dan lain-lain.

Ada banyak tokoh dalam seri Ramayana. Karena berbagai keterbatasan tokoh yang dijadikan contoh terutama Dewi Shinta, Raden Gunawan Wibisana, Raden Subali, Raden Sugriwa dan Patih Prahasta.

Dewi Shinta adalah putri Prabu Janaka dari kerajaan Mantili. Ia menjadi istri Rama setelah melalui sayembara. Raden Gunawan Wibisana adalah putra Dewi Sukesi dengan Resi Wisrawa. Ia terpaksa meninggalkan negara Alengka dan berpihak pada Rama karena tidak setuju dengan perbuatan kakaknya (Prabu Dasamuka raja Alengka) yang menculik Sinta. Raden Subali dan Sugriwa adalah putra Resi Gotama dan Dewi Windradi. Semula mereka berwajah tampan dengan nama Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi. Akibat perbuatannya sendiri (berebut sebuah cupu) mereka berubah wujud menjadi kera dan namanya pun ikut diganti. Patih Prahasta adalah putra Prabu Sumali dengan Dewi Danuwati. Prahasta adalah adik Dewi Sukesi dan pada waktu Dasamuka mendi raja ia diangkat menjadi patihnya.

Kelima tokoh di atas memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri yang bisa diambil hikmahnya dalam kehidupan kita. Banyak nilai-nilai yang dapat diambil dan dipelajari.

Nilai kesetiaan.
Nilai kesetiaan pada Dewi Shinta sangat jelas. Dia rela menderita dengan ikut Rama hidup di hutan. Juga ketika dalam cengkeraman Raja Dasamuka yang ingin memperistrinya, ia tak bergeming sedikit pun walaupun diiming-imingi berbagai hal. Selain kesetiaan hal ini juga menunjukkan kesucian hatinya. Nilai kesetiaan juga diperlihatkan oleh Patih Prahasta yang rela mati (dalam perang melawan Rama). Ia rela mati bukan membela Dasamuka yang angkara murka, tetapi karena kesetiaan pada negaranya dan ketidakrelaannya melihat prajurit Alengka banyak yang mati atau menderita karena perang melawan pasukan Rama.

Nilai kepatuhan.
Kepatuhan memiliki nilai tinggi (dihargai dan dihormati) buat orang yang menjalankannya, karena menjadi tolok ukur tentang kehormatan, harga diri dan kepahlawanan seseorang. Dewi Shinta patuh ketika menerima nsehat ayahnya untuk mengadakan sayembara memilih suami. Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi (Subali dan Sugriwa) mematuhi perintah ayahnya untuk bertapa memohon ampun pada Tuhan sebagai penebus perbuatannya.

Nilai kepemilikan.
Memiliki sesuatu itu (misal rumah, gelar, istri/suami) ada aturan atau undang-undangnya. Artinya siapapun yang memiliki sesuatu keberadaannya dilindungi undang-undang. Rama yang telah memiliki Shinta tidak dapat diganggu gugat. Shinta yang telah “dimiliki” Rama (sebagai suami) pun berusaha menjaga nilai kepemilikan tersebut. Prahasta yang merasa memiliki negara Alengka merelakan kematiannya karena membela negaranya. Ia mati demi harga dirinya dan harga diri negara, bukan membela Dasamuka yang angkara murka.

Nilai kearifan dan kebijaksanaan.
Arif berarti tahu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah sifat dan sikap yang dapat menempatkan suatu masalah pada proporsi yang benar menurut aturan yang berlaku. Karena itu rasa moral yang tinggi seharusnya melandasi semua pikiran dan tingkah laku pemimpin. Dasamuka adalah raja yang tidak arif dan bijaksana sehingga membawa kehancuran bagi rakyat dan negaranya. Wibisana adalah tokoh yang arif dan bijaksana serta luas pengetahuannya. Wibisana selalu menghargai pendapat orang lain baik penguasa maupun rakyat kecil, selalu dapat menimbang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Nilai ksatria.
Sifat satria adalah sifat yang selalu membela kebenaran, tidak takut menghadapi kesulitan serta bersedia mengakui kekurangan atau kesalahannya. Atas dasar hal tersebut Wibisana berani mengesampingkan nilai “berbakti” pada kakaknya. Ia dengan berani tidak henti-hentinya menasehati Dasamuka agar mengembalikan Shinta pada Rama, walaupun akibatnya ia diusir oleh kakaknya. Wibisana rela meninggalkan kemewahannya di Alengka sebagai konskuensi dari tindakannya. Hal ini juga mencerminkan sikap keteguhan hatinya.

Nilai pengendalian diri.
Pengendalian diri adalah sikap batin manusia dalam usaha mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaaskan pamrihnya untuk mendapatkan keselarasan hidup. Sugriwa dan Subali adalah gambaran manusia yang kurang bisa mengendalikan diri. Sekalipun mengetahui ibunya telah menjadi tugu, mereka belum sadar akan perbuatannya dan tetap berebut sebuah cupu, penyebab malapetaka keluarga Resi Gotama.

Nilai ketekunan dan keuletan.
Ketekunan dan keuletan diartikan sebagai sikap tidak menyerah pada berbagai rintangan atau hambatan yang dihadapi demi mencapai cita-cita atau tujuan (terlepas dari baik atau buruk tujuan tersebut). Subali dan Sugriwa dengan sekuat tenaga berusaha memiliki cupu, juga dengan tekun dan ulet melaksanakan tapa yang berat sebagai penebus perbuatannya.

Nilai etika.
Berdasarkan etika seseorang harus dapat membedakan hal yang buruk dan baik, hal yang benar dan hal yang salah. Prahasta adalah gambaran orang yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Ia penasehat Prabu Dasamuka sekalipun nasehatnya tidak pernah diperhatikan. Ia menghadapi “buah simalakama” tetapi tetap harus memilih. Akhirnya ia memilih menjadi senapati Alengka bukan karena membela Dasamuka tetapi membela negaranya.

Dari uraian di atas jelas terkandung nilai-nilai pendidikan, baik pendidikan yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia maupun manusia dengan lingkungan alam. Yang baik adalah manusia bisa menjaga keharmonisan hubungan tersebut.
(Di sadur dari Tembi.org)

WANI NGALAH LUHUR WEKASANE

(oleh: Sartono)
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.

Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.

Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.

Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.
(di Kutip dari Tembi.org)

Membangun Generasi dalam Konsep Jawa

(Ditulis oleh : Sis Daryanto)
Meletakkan Dasar Berpikir
Dalam kontek ajaran Jawa, muncul pemahaman bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan sifat adil. Manusia lahir membawa rejeki yang relatif sama, kepandaian, keselamatan dan umur yang relatif sama pula. Konsep penciptaan yang adil tersebut, tak pelak disangkal oleh orang-orang rasional yang berbasis teori barat. Anti tesa yang dimunculkan adalah, mengapa masing-masing orang memiliki nasib yang berbeda, ada yang kaya, miskin, umur pendek atau bernasib sial dibandingkan orang lain.
Bahwa perbedaan itu timbul, sebenarnya karena pengaruh interaksi antara manusia dengan alam semesta. Manusia lahir dengan hari dan pasaran yang berbeda, jam, menit dan detik yang berbeda, bulan, tahun atau dari orang tua yang berbeda, dengan sejarah perjalanan leluhurnya yang berbeda-beda pula.
Masing-masing unsur di atas membawa pengaruh pada sosok seorang manusia. Belum lagi ketika manusia satu berinteraksi dengan manusia lainnya, jelas akan saling mempengaruhi, akan muncul sebuah sifat dari terjadinya hubungan tersebut.

Pengaruh Alam
Alam sebagai ciptaan Tuhan, adalah mahluk yang memiliki energi hidup, demikian juga dengan hari, waktu, bulan, tahun merupakan bagian dari alam itu sendiri. Manusia lahir sudah menempati hari, pasaran dan waktu. Sedangkan hari, pasaran dan waktu memiliki energi hidup yang berpengaruh pada diri manusia. Maka sejak manusia lahir sudah dapat diketahui sifat apa yang akan dimiliki oleh si bayi.
Sebuah “hari” memiliki sifat, pasaran (pon, wage, kliwon, legi, paing) juga memiliki sifat, sementara “waktu” juga memilki sifat. Misalnya dalam 24 jam sehari, dibagi dalam beberapa “saat” yaitu fajar, subuh, duha, luhur, asar, maghrib, isyak dan tengah malam.
Keterangan diatas hanyalah sekelumit penjelasan tentang bagaimana orang Jawa memahami energi hidup alam semesta. Bahwa alam memiliki energi hidup yang mampu mempengaruhi kahidupan manusia. Toh manusia betapapun tidak mampu melawan energi alam, yang dapat mereka lakukan hanyalah memanfaatkan energi itu untuk kepentingan tertentu.

Membangun Generasi Masa Depan
Membangun generasi masa depan adalah membangun tokoh-tokoh pemimpin yang tangguh. Para leluhur Jawa memberikan pesan bahwa untuk membangun pemimpin generasi yang tangguh harus dilandasi oleh back ground yang kuat. Karena pemimpin dimanapun selalu menjadi faktor dominan dalam menentukan tercapainya tujuan komunitas.
Pada konsep yang lebih riil, memilih pemimpin harus memperhatikan back ground dan perilaku pemimpin itu sendiri. Selain kriteria pemimpin harus memiliki jiwa leadership, jujur, pandai, juga harus didukung oleh back ground yang kuat. Iapun harus memiliki pengalaman memimpin, meski hanya sebentar.
Jika seorang pemimpin tidak memiliki “wadah” yang kuat, bagaimana ia mampu membawa beban, memikul tanggungjawab orang banyak. Konsep Jawa menyebutkan seseorang menjadi pemimpin harus kuat menerima pangkat dan derajat. Artinmya apabila ia mendapat kedudukan tinggi maka ia mampu menerima konsekuensi dari tugas dan tanggungjawabnya.
Seseorang yang memiliki kakek dan orang tua dari kalangan bawah, bertabiat suka mabok, berjudi dan jarang berdoa, maka dia tidak akan mampu menjadi pemimpin yang tangguh. Orang dengan sejarah keturunan yang demikian tidak kuat menerima pangkat dan derajad. Kalaupun ia sempat memimpin, dapat diprediksikan dia akan gagal di tengah jalan. Kebanyakan mereka tidak mampu menyelesaikan tugasnya sebagai pemimpin sampai masa jabatan yang seharusnya dilaksanakan, kecuali dia sejak dini sudah gentur melakukan ritual.

Background Calon Pemimpin
Memilih pemimpin haruslah dilihat dari background atau latar belakang sejarahnya. Konteks dari cara pandang ini adalah untuk mencari tokoh yang kuat menerima pangkat dan derajad. Background sejarah yang dimaksud adalah melihat garis keturunan mulai dari kakek dan orang tuanya.
Latar bekang sejarah yang kuat untuk seorang pemimpin apabila ia memiliki kakek dan orang tua yang “kuat laku prihatin.” Artinya kakek dan orang tuanya sering melakukan puasa dan berdoa untuk keselamatan anak cucunya. Paling tidak jika sejarah leluhurnya tidak memiliki budaya ritual yang kuat, paling tidak dilihat dari pekerjaan yang dilakukan leluhurnya.
Background yang kuat untuk seorang calon pemimpin adalah bila orang tuanya memiliki pekerjaan sebagai Lurah di Desa atau seorang guru Taman Kanak-Kanak dan Guru Sekolah dasar. Lurah di desa adalah pemimpin sebenarnya yang berada di tingkat basis. Sedangkan guru Taman Kanak-Kanak dan guru Sekolah Dasar dia memiliki keistimewaan mengajari anak yang belum tahu apa-apa menjadi bisa menulis dan membaca.
Mengapa puasa dan doa menjadi sebuah kekuatan bagi seseorang ? dalam pemahaman orang Jawa sebuah doa adalah energi hidup. Sebuah kata, sebuah kalimat, ucapan adalah energi hidup. Terlebih bila kata yang dirangkai menjadi sebuah doa yang cara merangkaianya melalui laku ritual, maka ia merupakan energi hidup yang luar biasa.
Bagi kalangan muslim, sebenarnya Al-Quran dengan tulisan-tulisan surat di dalamnya menyimpan potensi energi yang besar. Ketika tulisan itu dibiarkan dan hanya dilihat, maka Al-Quran hanyalah tampak sebagai sebuah buku atau kitab. Tetapi jika surat-surat yang ada di dalamnya dibaca apalagi dengan keyakinan penuh, maka kalimat yang keluar dengan lafal-lafal itu menjadi energi hidup.
Begitupun dengan mantra yang dirangkai dengan menggunakan bahasa apapun, saat mantra diucapkan maka akan bangkit sebuah energi hidup. Terlebih jika mantra itu diucapkan dengan didasari puasa, energi yang muncul akan berlipat. Konsep puasa adalah membuat fisik menjadi lemah, untuk membangkitkan kekuatan non fisik. Karena menurut konsep Jawa kekuatan manusia bukan pada fisik tetapi pada non fisik. Yaitu sebuah konsep “raga titihane nyawa.”
Maka bila seseorang berpuasa lalu mengucapkan doa, akan bangkit sebuah energi hidup dan akan bergerak serta bekerja sesuai arah yang dikehendaki. Leluhur orang Jawa telah memberikan ajaran, supaya kita “gentur” puasa dan berdoa meminta keselamatan untuk anak keturunan kita.

Menjadi Background
Mengingat kekuatan seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah leluhurnya, khususnya kakek dan orang tuanya, dan ketika kita menyadari diri kita tidak memiliki latar belakang yang kuat, tidaklah bijaksana bila kita menyalahkan leluhur.
Dalam kondisi apapun, seharusnya menjadi tugas kita untuk membangun latar belakang yang kuat untuk anak keturunan kita. Sehingga suatu saat nanti Indonesia akan memiliki manusia-manusia yang kuat, mampu mambawa Indonesia mencapai kejayaan.
Adalah sebuah keniscayaan, apabila seluruh rakyat Indonesia bersama-sama melakukan ritual puasa dengan memanjatkan doa untuk keselamatan bangsa ini dan anak keturunan kita, maka tidak perlu menunggu satu generasi, Indonesia akan bangkit.
Tidak perlu semua rakyat Indonesia dan tidak perlu melakukan ritual dalam jangka waktu lama, andai 10 persen saja penduduk Indonesia mau melakukan ritual secara bersama-sama, selama dua puluh satu hari saja, maka sebuah kekuatan energi dahsyat akan mengantarkan kita mencapai kemakmuran yang dramatis. Tentunya untuk melakukan ritual ini mensyaratkan beberapa hal, yaitu :
- semua dilakukan dengan keyakinan
- memilih tempat berdoa yang bersih, artinya lokasinya bukan di tanah yang
sengketa, memiliki bio energi yang bagus.
- dilakukan dengan prosedur yang benar, setidaknya menurut orang-orang
yang lebih berpengalaman di bidang ritual.

Sumber : Berbagai Sumber

Tata Cara Menanam Tembuni (Ari-ari)

(Ditulis oleh : Anggara)

Tiap daerah di Nusantara mempunyai adat yang berbeda dalam merawat tembuni (ari-ari) sewaktu bayi lahir. Di Jawa sendiri terdapat beberapa variasi, ada yang ditanam sesegera mungkin di rumah orang tuanya, ada yang dihanyutkan ke sungai atau laut, ada juga setelah dimasukkan ke bejana tanah (kendil) kemudian digantung pada blandar (tiang melintang) di dapur atau ruang tengah (sentong).

Perbedaan ini tidak menjadikan masalah, seperti di daerah Jogja dan Solo kebanyakan tembuni diperlakukan dengan ditanam di tanah. Sementara disebagian wilayah Karesidenan Kedu, khususnya Wonosobo, Karesidenan Banyumas, serta di daerah sekitar Karanganyar dan Tawangmangu, para orang tua lebih suka menggantung tembuni yang dimasukkan ke dalam bejana tanah. Untuk sebagian daerah pesisir, cukup banyak orang yang lebih suka menghanyutkan (melabuh) tembuni tersebut.

Meski ada beberapa macam cara memperlakukan tembuni, namun ada satu kesamaan, yaitu setelah dicuci dan dibersihkan dengan hati-hati menggunakan air bersih, tembuni dimasukkan ke dalam bejana tanah. Kemudian disertakan juga beberapa ’uba-rampe’ ke dalamnya. Secara detail tata-cara tersebut diuraikan dalam baris-baris Kidungan di bawah ini:

KIDUNGAN PANGRUKTINING ARI-ARI

(1) Bebukane golong-galing kaki (utawa : nini), putu banteng Wulung.
Kaki Among Nini Among kiye, lah tunggunen gusti arsa guling, sira sun opahi striya mujung.

(2) Kakang Kawah Adi Ari-ari payo pada nglumpuk.
mBok Nirbiyah lan Diah den age, batok bolu lan uyah ywa kari, lan arta rong duwit, dome aja kantun.

(3) Beras abang lawan lenga wangi, miwah gantal loro.
Tetulisan Arab lan Jarwane, den lebokken ing kendil tumuli, nganggo lawon putih, karya lemek iku.

Tiga bait Kidungan di atas menerangkan secara gamblang perlengkapan apa saja yang harus dimasukkan ke dalam bejana tanah bersama tembuni Sang Bayi, yaitu: garam, uang sepasang, jarum yang tajam, beras merah, gantal (sirih yang digulung dana diikat) dua ikat, kertas yang bertuliskan huruf Arab, Latin dan Jawa. Sebelumnya dipersiapkan dahulu kain mori putih secukupnya sebagai alas tembuni dan berbagai perlengkapan yang menyertainya. Kemudian minyak wangi disiramkan secukupnya, kain putih dari ujung ke ujung ditangkupkan dengan rapi, terakhir kendil ditutup dengan tutupnya.

Garam merupakan simbol kehidupan, dan nantinya si anak jika besar akan mampu ’menggarami’ dunia, agar menjadi tempat yang nikmat dan enak bagi siapa saja bak rasa masakan yang lezat. Uang menggambarkan harapan, kelak nanti sang Anak tidak akan kekurangan dalam hal materi. Berjumlah sepasang, agar dalam mencari materi dia tetap menjaga hubungan baik dengan orang-orang disekelilingnya, tidak asal ’tabrak’ dan juga agar tidak lupa bersedekah jika lebih.

Jarum yang tajam adalah gambaran pikiran yang tajam dari sang anak. Beras merah meyimpan harapan agar sang anak tidak pernah kekurangan pangan. Dipilih Beras Merah dengan maksud apa yang dimakan memberikan kekuatan dan kesehatan bagi sang bayi. Beras Merah juga menggambarkan kejujuran dalam berusaha, dan lambang keterikatan dengan keluarga. Sedang warna merah sendiri dalam budaya Jawa menggambarkan sisi keduniawian dari kehidupan. Kertas bertuliskan huruf Arab, Jawa dan Latin, dimaksudkan agar sang anak akan menjadi anak yang beragama, cerdas secara spiritual, emosi dan rasio. Gantal (sirih) menjadikan anak tumbuh sehat dan kuat, serta kelak akan mendapat jodoh yang ideal. Kesemuanya itu beserta tembuni dimasukkan kedalam mori putih, sebagai lambang kepasrahan kepada Yang Maha Esa atas segala doa dan harapan yang dibubungkan dan daya upaya yang telah dilakukan.

Selanjutnya kita simak lanjutan Kidungan di atas tersebut sebagai berikut:

(4) Kutu-kutu walang ataga sami, bareng laringong.
Kang gumremet kang kumelip kabeh, lah tunggunen gusti arsa guling sira sun opahi, jenang sungsum telu.

(5) Dandanane saking suwarga di, batok isi konyoh.
Batok tasik tapel lan pupuke, ana nggawa bokor lawan kendi, ana nggawa maning kebut wiyah payung.

(6) Widadari gumrubyung nekani pra samya amomong ana ngreksa in kanan kering.
Ana nggawa kasur lawan guling kajang sirah adi, kemul sutra alus.

(7) Benjang lamun bayi neka nangis, ingembana gupoh.
Marang latar pojok lor prenahe, pra leluhur rawuh anyuwuki, meneng aja nangis, jabang bayi turu.

Bait 4, menyatakan agar si Orang Tua membuat bubur sumsum sebagai sarana penolak segala penyakit dan bahaya. Kemudian di saat akan menananam kendil berisi tembuni, Bapak dan Ibu harus berdandan rapi seperti akan pergi ke pesta. Kendil di gendong menggunakan selendang, dan dilambari kasur kecil lengkap dengan bantal dan gulingnya, serta diselimuti sutra halus. Sang Ayah berdiri di sampingnya sambil memayungi Sang Ibu yang menggendong kendil berisi tembuni, di tangan satunya membawa kebutan.

Selanjutnya kendil tersebut dimasukkan ke dalam lubang tanah yang telah disiapkan dan ditimbun dengan rapi. Bila malam datang, tepat di atas timbunan itu diberi lampu minyak tanah (senthir), dan agar tidak mati tertiup angin ditutupi oleh kendil yang dibalik yang telah dilubangi dasarnya. Biasanya pemasangan senthir ini dilakukan minimal 35 hari (selapan) dan kadang sampai 3 bulan lamanya.

Dalam bait terakhir, dinyatakan apabila kelak sang bayi menangis terus. Maka orang tua harus menggendongnya ke pojok utara pekarangan rumahnya, dengan maksud agar para leluhur datang untuk menghibur bayi agar tenang.


Sumber : Kidung Jawa

7.18.2007

Semar, Gareng, Petruk, Bagong

Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).
Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.
Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Sudah dipaparkan pada dua tulisan sebelumnya, bahwa Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan 'ngelmu' sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.

7.17.2007

SUNAN KALIJAGA

Raden. Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga., adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera, masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.

Diantara para Wali Sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi. daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana.

Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa hidupnya, sunan kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengaran cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an,. hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memagang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.

Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan Agama Islam di sini.

Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.

Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.

Maka setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh,berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya).

Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati. hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.

Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudan konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang indah. gapura mashidpun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya.

Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.

Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga (periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam. sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : “quu” dan “qilla” atau “quuqiila”, yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu.

Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti kepada Allah SWT.

Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan berasal dari rangkaian Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli - artinya pelaksana, penghulu : sedangkan Zaka - artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.

Konon kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut pula, sehingga dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga kali masa pemerintahan, pertama jaman akhkh Siti Jenar sesungguhnya tak ada disini, yang ada hanyalah Tuhan yang Sejati. ujarnya pula :

“Awit seh lemang bang iku, wajahing pangeran jati. nadyan sira ngaturana, ing pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang ora, mansa kalakon yekti”

Artinya : Oleh karena Syekh Siti Jenar itu sesungguhnya adalah wajah wujudnya Tuhan sejati, meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, manakala siti jenar tidak, maka tidaklah hal itu akan terlaksana. pada waktu Maulana Maghribi memberi wejangan bahwa yang disebut Tuhan Allah Sejati itu Wajibul Wujud (kang aran Allah jatine, wajibul wujud kang ana), maka Syekh Siti Jenar pun menjawablah, katanya :

“Aja ana kakehan semu, iya ingsun iki Allah, nyata ingsun kang sejati, jejuluk Prabu Satmata, tan ana liyan jatine, ingkang aran bangsa Allah”

Artinya : jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan. Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar ini dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992). sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata:

“Annal haqq” artinya : “sayalah kebenaran yang sejati itu”

kemudian katanya pula : “wa’ma fi jubbati illa-lah” artinya “dan tidak ada yang dalam jubah , melainkan Allah”.

Disamping itu al hallaj juga pernah mengatakan : “Telah bercampur rohmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila menyentuhi akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku”

Dalam segala hal demikianlah pandangan hidupnya. ucapan dan ajarannya inilah yang mengakibatkan dia dihukum mati di atas tiang gantungan, karena dianggap berbahaya dan menyesatkan oleh pemerintah Bagdad. kedua ahli mistik, baik Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar fahamnya condong kepada ajaran pantheisme, kesatuan antara makhluk dengan khalik Maha Penciptanya. dan keduanya pun mengalami pula nasib yang sama, karena mereka harus menebus keyakinan hidupnya dengan hukuman mati.

Kemudian kita dapati pula ucapan Siti Jenar yang lain, yang tampak isinya lebih mengutamakan hakekat daripada syari’at, katanya :

“Sahadat salat puwasa kawuri, apa dene jakat lawan pitrah, ujar iku dora kabehm nora kena ginugu, Islam tetep durjaning budi, ngapusi kyehning titah, sinung swarga besuke, wong bodo kanur ulama, tur nyatane pada bae ora uning, beda syekh siti jenar.”

Selanjutnya berkatalah Syekh Siti Jenar : “Tan mituhu salat lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane, yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat roning kamal”.

Demikianlah antara lain pandangan hidup serta ajaran-ajaran dari Syekh Siti Jenar. Dalam riwayat dikatakan bahwa murid Syekh Siti Jenar adalah : Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung, Ki Lontang.

Menengok konflik Masa Lalu

Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq Muhammad Hamidi). Di era Wali Songo -kelompok ulama yang “diklaim” oleh NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang “fenomenal” antara Wali Songo (yang mementingkan syari’at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus). Kutub-kutub politik itu memiliki pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun. Terutama perseteruan dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: “Babad Demak”, “Babad Tanah Djawi”, “Serat Kandha”, dan “Babad Meinsma”.

Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran “Islam mutihan” (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-’alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif terhadap budaya.

Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu “lebih seru” bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.

Bahkan, De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda, dengan begitu beraninya menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu) banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya, seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar “Sultan” bila telah mendapatkan “restu” dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara seperti ini yang kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali sendiri.

Begitupun ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus “berbelok arah” mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru yang bernama Mataram.

Tidak hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000 ulama ahlussunnah wal jama’ah di alun-alun Mataram, dengan alasan “mengganggu keamanan negara”. Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya -di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah “warisan” masa kini.
Ulasan dari situs ki-bambangasmara

PUNTADEWA (Manusia yg tak ber-Musuh)

Puntadewa adalah anak sulung Prabu Pandu Dewanata, seorang Raja Astinapura. yang lahir dari Dewi Kunthi Talibrata. Dari ibu yang sama ia mempunyai dua adik laki-laki, yaitu Bimasena dan Harjuna. Sedangkan dari Dewi Madrim ibu yang lain, Puntadewa mempunyai saudara laki-laki kembar, bernama Pinten dan Tansen. Kelima anak laki-laki Pandu Dewanata lebih dikenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Selain berayah Pandudewanata, Puntadewa dikenal juga sebagai anak Dewa pendarma, yang bernama Bathara Dharma.

Pada umumnya Puntadewa dianggap tokoh baik, berwatak putih suci, berbudi halus, sabar, berbelas kasih, setia, tidak mau mengecewakan orang lain, dan tulus ikhlas memberikan kepunyaannya kepada orang lain yang membutuhkan. Bahkan istrinya sekali pun jika diminta, akan diberikan. Karena perilaku yang teramat baik itulah, Puntadewa disebut sebagai manusia sempurna berdarah putih, atau manusia Ajatasatru, artinya manusia yang tidak mempunyai musuh.

Sebagai anak sulung, Puntadewa dipersiapkan menjadi raja. Namun sayang, Pandu Dewanata wafat ketika ke lima anak-anaknya masih kecil, sehingga untuk sementara negara Astinapura di titipkan kepada kakak Pandu yang bernama Destarasta, dengan janji bahwa nanti setelah Pandawa dewasa Kerajaan Astinapura akan diserahkan kepada Puntadewa. Namun janji tersebut tidak pernah ditepati. Buktinya, setelah Puntadewa dan ke empat adiknya dewasa, para kurawa yang didalangi Patih Sengkuni mencoba membunuh mereka dengan cara menjebaknya dalam sebuah rumah dan membakarnya hidup-hidup. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan "Bale Sigala-gala." Setelah tragedi berlalu, diantara puing-puing reruntuhan, didapatkan enam jenasah yang hangus terbakar, dan itu diyakini bahwa mereka adalah Kunthi Puntadewa dan ke empat adiknya. Dengan demikian tahta Hastina sudah aman dari pewarisnya. Maka segeralah Duryudana, anak sulung Prabu Destarastra naik tahta menjadi Raja Hastinapura.

Beberapa tahun kemudian, ada berita bahwa Puntadewa, Kunthi dan keempat adiknya masih hidup dan bahkan saat ini mereka sedang merayakan perkawinan Puntadewa dengan Dewi Drupadi di Negara Pancala. Agar Para Pandawa tidak merebut tahta Hastina, Destarastra menyarankan kepada Duryudana untuk memanggil mereka dan memberikan tanah kepada Puntadewa sebagai pengganti bumi Hastina. Tanah tersebut berupa hutan yang bernama Wanamarta. Walaupun merasa diperlakukan tidak adil, dengan ikhlas Puntadewa dan keempat adiknya melakukan pekerjaan besar, yaitu Babad Alas Wanamarta.

Dikisahkan bahwa Alas Wanamarta sesungguhnya merupakan sebuah Kraton "lelembut"yang sangat indah bernama Indraprasta, Prabu Yudistira, adalah nama rajanya. Ia mempunyai empat adik laki-laki bernama Dandunwacana, Dananjaya dan saudara kembar Nakula, Sadewa. Di dalam Wayang Kulit Purwa, Prabu Yudistira dan ke empat adik laki-lakinya bentuknya sulit dibedakan dengan Pandawa Lima. Prabu Yudistira seperti Puntadewa, Dandunwacana hampir sama dengan Bimasena, Dananjaya mirip Harjuna, sedangkan Nakula Sadewa tidak jauh berbeda dengan Pinten dan Tansen.

Ketika Puntadewa, adik-adiknya dan didukung para kawula berkumpul di hutan untuk memulai membabat hutan Wanamarta, Prabu Yudistira dan adik-adiknya merasa terusik, mereka marah dan ingin menggagalkan babad Alas Wanamarta. Namun niat itu diketahui oleh Harjuna, karena ia mempunyai pusaka 'Lenga Jayeng Katon' yang jika dioleskan di mata dapat melihat para makhluk halus. Maka terjadilah peperangan antara Pandawa dan para penguasa Kerajaan Indraprasta.

Pada akhirnya, Prabu Yudistira dapat ditundukan. Kerajaan Indraprasta diserahkan kepada Puntadewa. Jiwa Prabu Yudistira masuk ke dalam jiwa Puntadewa, diikuti oleh jiwa Dandunwacana bersatu dengan Bimasena, Dananjaya bersatu dengan Harjuna, si kembar Nakula dan Sadewa menyatu dengan si kembar Pinten dan Tansen.

Setelah peristiwa itu, keajaiban terjadi. Alas lebat Wanamarta berubah menjadi keraton megah dan indah, dengan nama Indraprasta. Puntadewa diangkat menjadi Raja dengan gelar Prabu Yudistira. Demikian juga Bimasena disebut juga Dandunwacana, Harjuna disebut Dananjaya, dan Pinten, Tansen disebut juga Nakula, Sadewa.

Sebagai ucapan syukur atas keberhasilan mendirikan Keraton Indraprasta yang besar dan sangat indah, jauh melebihi Negara Astinapura, Prabu Yudistira mengadakan upacara sesaji yang dinamakan Sesaji Raja Suya. Pada upacara tersebut, Prabu Yudistira mengundang Raja-raja dari seribu negara, termasuk Raja Astina Prabu Duryudana. Pada Upacara Sesaji Raja Suya, nampaklah kebesaran Prabu Yudistira yang dielu-elukan raja dari seribu negara dan juga kemegahan dan keindahan negara Indraprasta. Tentu saja Prabu Duryudana menjadi iri. Di dalangi oleh Patih Sengkuni, Prabu Duryudana ingin merebut Negara Indraprasta. Maka disusunlah siasat licik. Prabu Duryudana mengundang Puntadewa untuk bermain dadu dalam sebuah acara pesta. Pada puncak permainan dadu, Puntadewa mempertaruhkan negara Indraprasta beserta isinya, dan kalah. Akibatnya Puntadewa dan adik-adiknya, juga kawula Indraprasta terusir dari keraton. Mereka dibuang ke hutan dan hidup sengsara selama 13 tahun.

(herjaka)

7.16.2007

Kidung tetang S45P

Ana kidung akadang premati
Among tuwuh ing kuwasanira
Nganakaken saciptane
Kakang Kawah puniku
Kang rumeksa ing awak mami
Anekakake sedya
Ing kuwasanipun
Adhi Ari-Ari ingkang
Memayungi laku kuwasanireki
Angenakken pangarah

Ponang Getih ing rahina wengi
Ngrerewangi ulah kang kuwasa
Andadekaken karsane
Puser kuwasanipun
Nguyu-uyu sabawa mami
Nuruti ing panedha

Kuwasanireku
Jangkep kadang ingsun papat
Kalimane wus dadi pancer sawiji
Tunggal sawujud ingwang.

Yeku kadangingsun kang umijil
Saking margaina sareng samya
Sadina awor anggone
Sakawan kadangingsun
Ingkang ora umijil saking
Margaina punika
Kumpule lan ingsun
Dadya makdumsarpin sira
Wawayangan ing dat reke dadya kanti
Saparan datan pisah.

Yen angidung poma den memetri
Mumulea sega golong lima
Takir pontang wawadahe
Iwak-iwakanipun
Iwak tasik rawa lan kali
Sarta iwak bengawan
Mawa gantalipun
Rong supit winungkus samya
Apan dadya sawungkus arta saduwit
Sawungkuse punika.

Tumpangena neng pontangnya sami
Dadya limang wungkus pontang lima
Sinung sekar cepakane
Loro sapotangipun
Kembang boreh dupa ywa lali
Memetri ujubira
Donganira mahmud

Poma dipun lakonana
Saben dina nuju kalahiran neki
Agung sawabe ika.

Balik lamun nora den lakoni
Kadangira pan pada ngrencana
Temah udrasa ciptane
Sasedyanira wurung
Lawan luput pangarahneki
Sakarepira wigar
Gagar datan antuk
Saking kurang temenira
Madep laku iku den awas eling
Samya den kawruhana

Yang artinya +/- Sbb:

Ada kidung (tembang) tentang saudara (ghoib).
Yang timbul kekuasaannya.
Mengadakan yang diinginkan
Saudara tua (kawah) itu
Yang menjaga diri saya.

Membantu mendatangkan keinginan.
Kekuasannya
Adik ari-ari yang
Memberi perlindungan untuk mrenjalankan “laku”.
Mendatangkan yang diinginkan.

Saudara yg berwarna merah (darah) di siang dan malam
Dapat membantu “mengolah”
Mendatangkan/menjadikan apa yang diinginkan.

Pusar, kekuasannya.
“Mendorong” semua yang diinginkan
Menuruti permintaan Kekuasannya

Genap saudara kita yang empat
Kelimanya sudah menjadi Satu
Manunggal dengan diri (sasya).

Yaitu saudara(ku) yang bersamaan lahir
Dari “jalan yang hina” bersamaan.
Sama-sama dalam sehari
Empat saudara(ku)
Yang tidak keluar dari
“Jalan yang hina” tersebut
Kumpulnya dengan(ku)
Bernama “Makdumsarpin” dia
Bayang-bayang dari dat yang menjadi peserta
Kemanapun tidak terpisahkan.

Dengan tembang (kuberitahukan) cara “memberikan penghormatan”
Buatlah nasi golong (nasi yg dibuat bulat seperti bola) berjumlah lima
Ditempatkan pada takir pontang (tempat nasi yg terbuat dari daun pisang).
Ikan-ikannya yang dipakai lauk
Ikan danau dan sungai.

Serta ikan dari bengawan (sungai yang besar)
Dengan gantalnya (gantal= sirih yang dilinting terus diikat dgn benang)
Dua buah terus di bungkus semua
Dijadikan satu bungkus dengan uang receh (uang logam)
Setiap bungkusnya.

Setelah dibungkus ditumpanhkan di takirnya
Jadikan lima bungkus dengan lima takir
Siapkan juga bunga-bungaan
Bunga “setaman” (nama suatu racikan bunga di daerah Jateng/DIY),
jangan lupa dupanya
Dengan niat menghormati
Dengan doa Mahmud
Seumpama dilaksanakan
Setiap hari kelahiran (neton)
Besar faedahnya.

Sebaliknya bila tidak dilaksanakan
Saudaramu (yang empat) akan mengganggu
Sehingga gagal apa yang diinginkan
Apa yang diharapkan urung/tidak jadi
Luput apa yang dikehendaki
Apa yang kau inginkan gagal
Gagal dengan tidak mendapat
Karena kurang kuat keinginanmu

SEDULUR PAPAT KALIMA PANCER

Didalam adat Jawa sangat kita kenali istilah Sadulur papat kalima pancer. Namun generasi sekarang banyak yang melupakannya memang.

Tatkala seorang ibu melahirkan bayi, sang bayi ini dikawal oleh ketuban yang menjaga badan, placenta yang memayungi janin di dalam perut ibu dan mengantarkannya sampai ke tujuan: gubrag! di alam mayapada ini. baru kemudian darah menyertai sebagai saudara ketiga. Kedudukan darah adalah Membantu Yang Punya Hidup demi mewujudkan kehendakNYA. Dan saudara keempat adalah pusar. Peran pusar adalah untuk memenuhi permintaan jabang bayi. Begitu bayi lahir bereslah tugas keempat saudara secara materialistik. Namun secara spiritual keempat mereka masih tetap menemani.

Dalam kebudayaan arab tidak dikenal nama saudara empat ini.
Ketika Islam masuk ke Jawa, saudara empat itu dihubungkan dengan malaikat :

1. Jibril (Jabr El = kekuatan Tuhan => ketuban => ruh. Mempunyai seribu enam ratus sayap, Dan dari kepala sampai kakinya ditutupi tujuh puluh ribu bulu berwarna kuning. Setiap bulunya memuat satu bulan dan banyak bintang),
2. Israfil (=malaikat penggenggam yang meniuplan teropet kehidupan dalam rahim = ari-ari atau tembuni atau placenta. semesta,
3. Mikail (= memelihara kehidupan => tali pusar, dalam kepercayaan orang Jawa malaikat Mikail adalah saudara yang menjamin sandang, pangan dan papan) dan
4. Izrail (= Malaikat maut. Sosok yang dipercaya sebagai penanggung jawab kematian. Dalam Hindu konon dikenal sebagai Bathara Kala, dewa yang menguasai waktu, ajal.

Buat orang Jawa kematian dewa kematian tidak ada. Karena kematian bukan berasal dari luar diri seseorang. Malainkan merupakan jalan kembali kepada Sang Maha Pencipta)). Sistem saudara empat ini juga dihubungkan dengan keempat napsu yang ada pada manusia. Amarah, lauwamah, sufiyah, dan mutmainah (=jiwa yang tenang.)

Dalam pengenalan diri sejati, teruraikan secara sederhana mengenai diri sejati kita.
Dalam kita hidup didunia ini, sebenarnya kita punya kembaran astral, ada 4 kembaran astral kita sbb :

Asal Warna Posisi Pengaruh Nama
Kawah Bayi Putih Timur Mutmainah / Keutamaan Kakang Kawah
Ari Ari Kuning Barat Supiyah / Keindahan Adi Ari Ari
Darah Merah Selatan Amarah Darah
Puser Hitam Utara Aluamah / Keserakahan Pusar

Sedangkan kita sendiri adalah merupakan pusat / pancer dari keempat saudara saudara Astral itu. Oleh karena itu dikenal adanya “sedulur papat lima pancer “.
Sedang diatas ke empat saudara kita itu, ada sang guru sejati, kemudian diatas guru sejati ada Sang Sukma Sejati.
Kalau dalam filosofi 5 jari, maka guru sejati diwakili oleh Jempol , sedang ke 4 bawahannya diwakili oleh keempat jari yang lain.

Ajaran para leluhur telah menyebutkan keberadaan sudara gaib kita ini yaitu bahwa jika manusia bisa menguasai keempat saudaranya itu (yg notabene menguasai 4 nafsu,) maka orang tsb menjadi oke, bagus, sip, jempolan.
Secara keilmuan Jawa, yang putih sering disebut nafsu Muthmainah (keutamaan), yang merah disebut Nafsu Amarah, yang kuning disebut Nafsu Supiyah (keindahan), dan yang hitam disebut Nafsu Luwamah atau Aluamah (keserakahan).
Keempat-empatnya harus diseimbangkan, jangan terlalu menonjol salah satu, karena akan berakibat kurang baik. Meskipun Nafsu Muthmainah menuntun menuju keutamaan, namun kalau terlalu “kebablasen” ya tidak baik, contoh berderma yang sampai habis-habisan sehingga diri sendiri sampai tidak terpikirkan (menderita). Nafsu Amarah akan menuntun kearah keangkaramurkaan, sihingga juga tidak baik kalau lepas kendali., Nafsi Supiyah menuntun ke kecintaan pada keindahan, kalau lepas kendali, kita bisa menjadi pengumbar nafsu (syahwat). Begitu pula dengan nafsu Aluamah, bila lepas kendali akan menuntuk kita ke keserakahan, ingin memiliki yang bukan haknya, dan lain sebagainya.
Persoalannya kemudian adalah, bagaimana cara untuk “mengaktifkan” mereka secara seimbang agar mereka bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan, ataupun cara-cara kita untuk mendayagunakannya. Karena menurut pengalaman, sebelum diaktifkan, meraka tidak berada di empat penjuru (mengelilingi kita) namun berjajar di belakang kita. Mereka baru benar-benar bekerja ketika kita memang sedang sangat membutuhkan (di alam lahiriah sering terlihat sebagai kemampuan yang tak terduga sebelumnya), setelah itu, yaaa istirahatlah mereka.
Secara mudah, untuk mengaktifkannya sedulur papat ini, kita harus sering-sering mengajaknya berkomunikasi (komunikasi satu arah). Ajaklah mereka kalau kita akan melakukan sesuatu. Misalnya akan bepergian, dsb.
Coba juga dihubungi ketika kita sedang melakukan meditasi, lakukan komunikasi satu arah (apa yang menjadi keinginan kita kita sampaikan padanya, tanpa harus mendengar jawaban yang diberikan).
Sebenarnya, bila kita menggunakan medium, akan lebih mudah lagi, karena kita dapat langsung berwawancara, sehingga kita juga mengerti akan kemauannya, dan cara-cara untuk memanggil yang paling pas.
Mereka dapat di dayagunakan untuk perlindungan, dsb. Gampangnya ya membantu apapun yang ingin kita kerjakan.



Disadur dari :Trilogy-X

BANGSA/SUKU BANGSA JAWA SATU ABAD SEBELUM MASEHI

Sesuatu yang umum bila kita merasa penasaran akan asal-usul kita. Suku bangsa Jawa misalnya, bagaimanakah keadaan atau jati dirinya pada abad-abad yang telah lampau. Bahkan pada abad sebelum Masehi. Sudahkan suku bangsa Jawa itu eksis. Jika memang sudah eksis, sampai sejauh mana kira-kira wujud peradabannya. Sudahkah mereka mengenal teknologi yang mapan. Sudahkah mereka memiliki religi sendiri. Sudahkah mereka mengenal sistem huruf, alat komunikasi, dan sebagainya. Sungguh menarik tulisan Radhar Panca Dahana dalam kumpulan esai yang dibukukannya dengan judul Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia, terbitan Resist Book, 2007, Yogyakarta yang menyatakan bahwa Ptolomeus (ilmuwan Mesir) pernah mencatat bahwa orang-orang Jawa sebelum tahun 1 SM telah mengadakan hubungan dengan Benua Hitam (Afrika). Di sebutkan dalam buku Ptolomeus yang berjudul Geography, bahwa bangsa Jawa pada abad itu telah melakukan tukar-menukar hasil bumi antara lain rempah-rempah, emas, dan perak dengan bangsa-bangsa Afrika. Mereka membawa hasil bumi itu di antaranya kemudian untuk ditukarkan dengan budak-budak Afrika. Dari sisi itu sebenarnya bangsa Jawa khususnya, atau bangsa Indonesia umumnya boleh merasa bangga bahwa ternyata pada waktu sebelum Masehi pun bangsa kita ini telah memiliki peradaban (maju). Jika tidak maju dan berperadaban tinggi tentu tidak mungkin mereka bisa melayari samudera luas untuk kemudian mendarat di Benua Afrika. Jika mereka tidak memiliki ilmu pengetahuan yang baik, tidak mungkin produk mereka bernilai jual tinggi di pasaran internasional waktu itu. Radhar Panca Dahana menyatakan bahwa bangsa tersebut di atas diistilahkan sebagai Proto-Jawa. Proto Jawa yang dicatat oleh Ptolomeus ini barangkali memang telah berperdaban maju dan berilmu pengetahuan yang tinggi dan bahkan mungkin juga mengembangkannya. Sayangnya, kita tidak punya catatan lengkap tentang hal itu. Namun berita dalam buku Ptolomeus itu tentu cukup menggugah pengertian kita bahwa kita bukan bangsa yang terbelakang. Kita telah maju bahkan mungkin melampaui bangsa-bangsa atau sejajar dengan bangsa-bangsa yang terlah maju saat itu (Cina, Mesir, India, Yunani, dan sebagainya). Jauh sebelum Hindu-Budha masuk ke bumi Jawa, kita telah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan. Masuknya berbagai pengaruh asing (luar) barangkali menjadi salah satu hal atau bahkan hal utama atau pokok bagi “penenggelaman” jati diri bangsa Jawa (Indonesia). Sampai hari ini pun kita tidak bisa tidak harus menerima serbuan luar biasa dari simbol-simbol peradaban itu. Hal ini telah kita alami sejak jauh sebelum abad-abad Masehi. Tidak mengherankan jika Dennis Lombard pun menyatakan bahwa bangsa Jawa merupakan tempat persilangan budaya. Jadi, kita, bangsa Jawa (Indonesia) ini ibarat berada di sebuah perempatan yang selalu diserbu berbagai pengaruh yang menyebabkan kita mudah kehilangan orientasi, linglung, gagap, rikuh, tidak berdaya, tergadai, dan tidak mengenali dirinya sendiri.Dikutip pada http://www.tembi.org/

Kanugrahan tanah Jawa

Tak dapat dipungkiri, Jawa kaya akan semua yang jadi kebutuhan manusia, bukan berarti tulisan ini memandang kecil suku-suku yang lain di negara kesatuan R.I, ini adalah ulasan kecil dari seorang anak turun orang jawa yang ingin menggambarkan menurut isi hatinya.
Dalam arti lain Jawa adalah sayang, sabar, hujan (subur). dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, betapa tulus arti kata jawa. dari segi kebudayaannya sendiri tak usah di ragukan akan jumlah yang ada. dari sudut barat sampai ujung timur pulau jawa, beragam budaya mencuat dengan indah, tidak daerah punya kultur masing-masing. karena leluhur dan era kerajaan terdahulu memberikan contoh-contoh yang berbeda terhadap rakyat dan bawahannya. sungguh suatu keragaman yang indah.

mungkin ini mukadimah saya, sebagai ungkapan syukur akan kebesaran Ilahi untuk tanah Jawa.

Y.S Suyono