(Disadur dari:bhumijawa.com)
Para leluhur kita, pada jaman dulu telah mengenal istilah angka, yang diramu sedemikian rupa dan dinamai hitungan atau pethung. Dalam konsep Jawa angka atau pethung memiliki falsafah, yang diambil dari menterjemahkan energi alam Maka angka yang juga disebut pethung memiliki daya atau energi dari alam. Para leluhur Jawa sudah menyebtkan bahwa angka itu mengandung sifat dan pengaruh dalam kehidupan. Sifat angka menurut para leluhur Jawa bisa disebutkan sebagai berikut :
1 (satu) : awal mula, menyatu, sosok manusia atau eksistensi manusia,
fokus
2 (dua) : sempurnanya hidup manusia jika sudah berkeluarga arti angka
2 adalah keluarga
3 (tiga) : orang hidup memiliki tanggungjawab dan seringkali tergantung
pada orang lain
4 (empat) : orang hidup harus ingat pada saudara yang masih hidup atau
yang sudah meninggal, maka dapat disebut harus ingat kiblat
empat (arah). Juga memiliki falsafah orang hidup harus bekerja
supaya dapat penghidupan
5 (lima) : orang hidup punya kalimat, permintaan, doa dan angan-angan
6 (enam) : orang hidup punya kemantapan dan tatanan.
7 (tujuh) : orang hidup memiliki tujuan dan membutuhkan pertolongan,
petuah, penerang atau malah mendapat kegelapan.
8 (delapan) : orang hidup senang kemewahan, memiliki kesombongan,
tetapi jika berambisi mengejar kemewahan dan kesombongan
justru akan kuwalahan
9 (sembilan) : pencapaian tertinggi yang dicari manusia hidup adalah
mencapai kesempurnaan, baik lahir maupun batin
0 (nol) : netral, suwung, kosong, tidak berisi.
Pengetahuan tentang hari
Penjaga hari dalam konsep Jawa adalah:
Hari Jumat dijaga oleh Nabi Muhammad SAW
Hari Sabtu dijaga oleh Nabi Adam AS
Hari Minggu dijaga oleh Nabi Musa AS
Hari Senin dijaga oleh Nabi Ibrahim AS
Hari Selasa dijaga oleh Nabi Isa AS
Hari Rabu dijaga oleh Nabi Nuh AS
Hari Kamis dijaga oleh Siti Fatimah
Pethung Hari
Jumat : 6
Sabtu : 9
Minggu : 5
Senin : 4
Selasa : 3
Rabu : 7
Kamis : 8
Pethung Pasaran
Pon : 7
Wage : 4
Kliwon : 8
Legi : 5
Paning : 9
Pasaran, pethung, letak, warnanya dan sifatnya
Pon : 7
Letak : barat
Warnanya : ijo pupus, kuning, biru
Sifat : kuat jika punya permohonan
Wage : 4
letak : utara
Warnanya : hitam
Sifat : kontemplasi atau mawas diri dan harus ingat kepada saudara
Kliwon : 8
Letak : di tengah
Warnanya : aneka warna / pelangi
Sifat : waspada
Legi : 5
Letak : timur
Warnanya : putih
Sifat : beban yang berat dalam mengarungi hidup
Paing : 9
Letak : selatan
Warnanya : merah
Sifat : nekat.
Petung hari dan pasaran ini dapat digunakan untuk banyak bidang, mulai dari menganalisa potensi diri manusia, kelemahan manusia, rejeki, jodoh, mendeteksi tamu yang datang di rumah, dan lain-lain.
Angka atau petung juga dapat dipergunakan untuk mengetahui sifat manusia, dengan menjumlahkan petung hari dan pasaran maka dapat diketahui bagaimana sifat yang dimiliki manusia.
Hitungan hari jika ditambah dengan hitungan pasaran ketemu :
7 = sifatnya Bumi
Sifatnya manusia : orangnya pendiam, gampang ngambek, kurang
tajam pemikirannya dan suka menganggu teman lawan jenis
8 = sifatnya Geni
Sifatnya manusia : orangnya panas hati, ada bakat perang, dengki,
kalau wanita bisa membuat cilaka
9 = sifatnya Ngaras Peksi / lakunya angin
Sifatnya manusia : pendiam bagai pendeta, suka berpindah tempat,
suka dipuji, tak tenang hatinya.
10 = sifatnya Pepet/ Pandita Sakti
Sifatnya manusia : Pendiam, banyak akal, mudah mengerti, tempat
pertanyaan, bisa mendukun, suka membual, namanya bisa tersohor
karena sastra
11 = sifatnya Ngaras Tuding / Lakunya Setan
Sifatnya manusia : Berani berpergian malam hari, berani, suka
menjual pakaian atau sesuatu yang dimilikinya, suka menginginkan
milik tetangga
12 = sifatnya Kembang
Sifatnya manusia : Tidak banyak anak, tetapi banyak teman, pria/wanita
mudah menurut kepadanya.
13 = sifatnya Lintang
Sifatnya manusia : Pendiam dan sabar, tetapi tidak mempunyai
saudara, tak punya nafsu dan tahan berjalan di waktu malam,
ditakdirkan bisa berdagang dan bisa pandai bicara, tak dapat dihalang-
halangi kemauannya.
14 = sifatnya Rembulan
Sifatnya manusia : bisa mengerjakan segala macam pekerjaan, dan
sebentar saja bisa hidup senang lekas pandai jika menerima
pelajaran, diturut orang, luas budinya, tetapi agak pemalu dan tidak
kaya.
15 = sifatnya Matahari
Sifatnya manusia : manis bicaranya dan mudah memaklumi orang,
tetapi jelek jika bertengkar, segala sesuatau selalu direnungkan,
celanya tidak bisa membatasi nafsu makannya
16 = sifatnya Air / banyu
Sifatnya manusia : suka memerintah sesamanya, budi pekerti dan
pendiriannya kuat, ingin selalu tersedia makanan, punya wawasan
luas, jika tidak berjodoh suami/istri suka bertengkar.
17 = sifatnya Gertak Bumi
Sifatnya manusia : Jika bekerja kadang mencelakakan, tutur katanya
bersahaja, sering tidak menepati janji, suka meremehkan sesamanya
sehingga tidak banyak teman, tetapi kata-katanya apa adanya.
18 = sifatnya Gertak Geni
Sifatnya manusia : Pemarah, bicaranya asal buka mulut tak
mempedulikan raut muka lawan bicaranya, tertawanya terkesan
mencemooh, bila marah mudah berubah karena pada dasarnya ia
penakut.
Sumber : Primbon dan Serat Jawa
7.24.2007
Satu Suro : 375 Tahun yang Lalu
(Disadur dari: bhumijawa.com)
Bulan Maret 2003, sebagian masyarakat merayakan dua tahun baru sekaligus: 1 Muharam 1424 H dan 1 Suro 1936 Saka Jawa. Dalam kalender 2003 M (Masehi), 1 Muharam 1424 H bertepatan dengan hari Selasa (4/3). Tanggal 1 Suro 1936 bertepatan dengan hari Rabu (5/3). Suro adalah bulan pertama penanggalan Jawa. Pergantian tahun Hijriah dan tahun Jawa hampir selalu bersamaan. Hal ini bisa dipahami karena sejak 370 tahun lalu kalender Jawa mengadopsi sistem penanggalan Hijriah yang berdasarkan pergerakan Bulan mengelilingi Bumi.
Penanggalan Jawa
Awalnya, hingga 1633 M masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan Matahari. Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India. Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1633 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar sistem penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat dibaca dalam buku Primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 Taun yang ditulis dalam bahasa Jawa.
Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem Syamsiyah (Matahari) menjadi Komariyah (Bulan). Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk wilayah Mataram. Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem penanggalan tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1, melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini.
Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian-penyesuaian seperti nama bulan (month) dan hari (day). Yang semula menggunakan bahasa Sansekerta menjadi bahasa Arab atau mirip bahasa Arab. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa.
Perbedaan Kalender
Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalannya sama yaitu penampakan Bulan, kalender Jawa bukanlah kalender Hijriah. Meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, kalender Jawa tidak mengikuti aturan penanggalannya. Kalender Jawa lebih tepat disebut sebagai penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah. Konsep hari pasaran yang terdiri dari lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon) merupakan wujud unsur-unsur Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah dan Masehi. Siklus delapan tahunan yang disebut Windu juga merupakan konsep penanggalan khas Jawa. Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
Secara astronomis, kalender Jawa tergolong mathematical calendar, sedangkan kalender Hijriah astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong mathematical calendar. Adapun astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam sendiri seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai mathematical calendar membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.
Budaya yang dilupakan
Sebagai sebuah sistem penanggalan, penanggalan Jawa merupakan salah satu produk budaya asli bangsa Indonesia. Sistem penanggalan Jawa tersebut, seperti halnya budaya Jawa lainnya, perlahan mulai hilang dari peredaran. Untunglah masih ada tradisi Suroan yang melekat dalam masyarakat Jawa dan diperingati secara rutin oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Masyarakat yang merayakan Suroan akan membersihkan diri dengan mandi di rumah, sungai, laut, diteruskan dengan begadang hingga pagi. Suroan juga dipercaya sebagai saat yang tepat untuk mencuci pusaka seperti keris dan tombak.
Ditulis oleh : Hendro Setyanto (Asisten Observatorium Bosscha)
Bulan Maret 2003, sebagian masyarakat merayakan dua tahun baru sekaligus: 1 Muharam 1424 H dan 1 Suro 1936 Saka Jawa. Dalam kalender 2003 M (Masehi), 1 Muharam 1424 H bertepatan dengan hari Selasa (4/3). Tanggal 1 Suro 1936 bertepatan dengan hari Rabu (5/3). Suro adalah bulan pertama penanggalan Jawa. Pergantian tahun Hijriah dan tahun Jawa hampir selalu bersamaan. Hal ini bisa dipahami karena sejak 370 tahun lalu kalender Jawa mengadopsi sistem penanggalan Hijriah yang berdasarkan pergerakan Bulan mengelilingi Bumi.
Penanggalan Jawa
Awalnya, hingga 1633 M masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan Matahari. Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India. Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1633 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar sistem penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat dibaca dalam buku Primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 Taun yang ditulis dalam bahasa Jawa.
Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem Syamsiyah (Matahari) menjadi Komariyah (Bulan). Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk wilayah Mataram. Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem penanggalan tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1, melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini.
Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian-penyesuaian seperti nama bulan (month) dan hari (day). Yang semula menggunakan bahasa Sansekerta menjadi bahasa Arab atau mirip bahasa Arab. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa.
Perbedaan Kalender
Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalannya sama yaitu penampakan Bulan, kalender Jawa bukanlah kalender Hijriah. Meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, kalender Jawa tidak mengikuti aturan penanggalannya. Kalender Jawa lebih tepat disebut sebagai penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah. Konsep hari pasaran yang terdiri dari lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon) merupakan wujud unsur-unsur Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah dan Masehi. Siklus delapan tahunan yang disebut Windu juga merupakan konsep penanggalan khas Jawa. Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
Secara astronomis, kalender Jawa tergolong mathematical calendar, sedangkan kalender Hijriah astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong mathematical calendar. Adapun astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam sendiri seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai mathematical calendar membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.
Budaya yang dilupakan
Sebagai sebuah sistem penanggalan, penanggalan Jawa merupakan salah satu produk budaya asli bangsa Indonesia. Sistem penanggalan Jawa tersebut, seperti halnya budaya Jawa lainnya, perlahan mulai hilang dari peredaran. Untunglah masih ada tradisi Suroan yang melekat dalam masyarakat Jawa dan diperingati secara rutin oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Masyarakat yang merayakan Suroan akan membersihkan diri dengan mandi di rumah, sungai, laut, diteruskan dengan begadang hingga pagi. Suroan juga dipercaya sebagai saat yang tepat untuk mencuci pusaka seperti keris dan tombak.
Ditulis oleh : Hendro Setyanto (Asisten Observatorium Bosscha)
Pepali Ki Ageng Selo : Filsafat hidup agar manusia berumur panjang
(di sadur dari bhumijawa.com)
Ki Ageng Selo adalah nama yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa hingga saat ini. Ia identik dengan petir, setiap ada petir menyambar di langit, orang Jawa akan teringat sebuah nama Ki Ageng Selo. Berdasarkan mitologi Jawa, Ki Ageng Selo yang juga seorang petani, ketika akan turun hujan, ia masih berada di sawah. Sesaat kemudian muncul petir yang menyambar ke arahnya, petir itupun ditangkap lalu diserahkan kepada penguasa Demak.
Bentuk fisik petir yang ditangkap Ki Ageng Selo berupa setengah naga dan setengah buaya. Bentuk petir ini sampai sekarang dapat dilihat dalam bentuk relief yang dibuat dipintu masuk Masjid Agung Demak..
Menurut silsilahnya Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir, ia juga moyang dari pendiri kerajaan Mataram kedua yaitu Sutawijaya. Semasa hidupnya Ki Ageng Selo pernah melamar menjadi pasukan kerajaan Demak, tetapi tidak lulus. Karena ketika ia memukul banteng dalam ujiannya, darah banteng muncrat mengenai matanya dan dia memalingkan muka.
Iapun dianggap tidak tahan melihat darah, karena memalingkan muka, sehingga tidak diterima sebagai pasukan pengempur Kerajaan Demak. Malu karena tidak diterima sebagai pasukan, ia berniat membangun kerajaan sendiri. Kalaupun ia belum berhasil, maka anak keturunannya diharapkan bisa mendirikan kerajaan. Maksud untuk mendirikan kerajaan sendiri dapat diwujudkan oleh cicitnya, Sutawijaya yang bergelar Penambahan Senopati ing Ngalaga (Yang Dipertuan Panglima Perang).
Selama Ki Ageng Selo menyendiri di sebelah timur Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, ia menulis ajaran untuk memberi pengaruh kepada rakyat. Filsafat hidup Ki Ageng Selo merupakan sintesa antara agama Hindu dan Islam. Mulai edisi ini redaksi akan menurunkan ajaran atau filsafat Ki Ageng Selo.
BAGIAN I
Filsafat tersebut ditulis dalam bentuk tembang, pada bagian I ajaran Ki ageng Selo ditulis dalam Pupuk Dandanggula.berisi 17 padha.
Padha 1.
Pepali-ku ajinen mberkati,
Tur selamet sarta kuwarasan,
Pepali iku mangkene :
Aja agawe angkuh,
aja landak lan aja jail,
Aja ati serakah,
Lan aja celimut,
Lan aja mburu aleman,
Aja landak, wong landak pa gelis mati,
Lan aja ati ngiwa.
Terjemahan bebasnya :
Pepaliku amalkanlah agar memberi berkah, juga memberikan keselamatan dan kesehatan, Pepali itu sebagai berikut : Jangan bersikap angkuh, jangan bengis dan jangan jail, jangan berhati serakah, dan jangan suka mengambil milik orang, jangan memburu pujian, jangan bengis, orang bengis itu akan cepat mati, dan jangan berhati selingkuh
Analisa :
Padha atau bait I dari pupuh Dandanggula dapat dijelaskan pepali berarti ajaran, petuah atau aturan. Jika orang mau menjalankan pepali Ki Ageng Selo mereka akan mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu hidupnya akan selamat dan mendapat kesehatan jasmani.
Ajaran agar tidak bersikap angkuh, bengis, jahil atau suka mencari perkara, tidak serakah dan tidak mengambil milik orang serta tidak memburu pujian merupakan sikap yang disenangi oleh Tuhan. Orang yang bersikap bengis akan berumur pendek, karena sifat bengis selalu didasari oleh sifat dendam.
Menurut Sidarta Budha Gautama, dendam itu seperti bara yang berada di dalam dada. Orang yang memiliki dendam sepertinya hendak melemparkan bara itu kepada musuh-musuhnya, tetapi bara itu tidak akan pernah mengenai musuhnya, justru akan berbalik menghantam dirinya sendiri. Dari hukum sebab akibat ini, maka Ki Ageng Selo menyatakan bahwa orang bengis akan berumur pendek..
Sedangkan pada kalimat terakhir disebutkan aja ati ngiwa, kata ngiwa dalam konteks pengertian Jawa adalah segala perbuatan yang tidak sepantasnya, atau tidak bolah diperlihatkan kepada kalayak. Maksud dari kata aja ati ngiwa atau jangan berhati kekiri adalah jangan berbuat selingkuh terhadap siapa saja.
Padha 2
Padha sira titirua kaki,1
Jalma patrap iku kasihana,
Iku arahen sawabe,
Ambrekati wong iku,
Nora kena sira wadani,
Tiniru iku kena,
Pambegane alus,
Yen angucap ngarah-arah,
Yen alungguh nora pegat ngati-ati,
Nora gelem gumampang.
Terjemahan bebasnya :
Kamu sekalian menirulah “kaki” (wahai manusia), manusia beretika itu cintailah, carilah sawabnya (tuahnya), memberi berkah orang itu, tidak boleh kamu mencelanya, lebih baik menirunya, pendiriannya halus, kalau mengucap berhati-hati, kalau duduk tiada putus-putusnya berhati-hati, tidak suka menyepelekan segala sesuatu.
Analisa :
Arti kata “kaki” dalam pepali Ki ageng Selo bukan dimaksudkan menunjuk anggota tubuh, tetapi kaki di sini artinya sebuah sebutan bagi manusia yang sudah memenuhi kewajiban atau dewasa. Sedangkan arti kata janma patrap adalah manusia yang beretika atau manusia yang dalam kesehariannya senantiasa bersikap santun, etis dan menghargai orang lain.
Sumber : Pepali Ki Ageng Selo
Ki Ageng Selo adalah nama yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa hingga saat ini. Ia identik dengan petir, setiap ada petir menyambar di langit, orang Jawa akan teringat sebuah nama Ki Ageng Selo. Berdasarkan mitologi Jawa, Ki Ageng Selo yang juga seorang petani, ketika akan turun hujan, ia masih berada di sawah. Sesaat kemudian muncul petir yang menyambar ke arahnya, petir itupun ditangkap lalu diserahkan kepada penguasa Demak.
Bentuk fisik petir yang ditangkap Ki Ageng Selo berupa setengah naga dan setengah buaya. Bentuk petir ini sampai sekarang dapat dilihat dalam bentuk relief yang dibuat dipintu masuk Masjid Agung Demak..
Menurut silsilahnya Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir, ia juga moyang dari pendiri kerajaan Mataram kedua yaitu Sutawijaya. Semasa hidupnya Ki Ageng Selo pernah melamar menjadi pasukan kerajaan Demak, tetapi tidak lulus. Karena ketika ia memukul banteng dalam ujiannya, darah banteng muncrat mengenai matanya dan dia memalingkan muka.
Iapun dianggap tidak tahan melihat darah, karena memalingkan muka, sehingga tidak diterima sebagai pasukan pengempur Kerajaan Demak. Malu karena tidak diterima sebagai pasukan, ia berniat membangun kerajaan sendiri. Kalaupun ia belum berhasil, maka anak keturunannya diharapkan bisa mendirikan kerajaan. Maksud untuk mendirikan kerajaan sendiri dapat diwujudkan oleh cicitnya, Sutawijaya yang bergelar Penambahan Senopati ing Ngalaga (Yang Dipertuan Panglima Perang).
Selama Ki Ageng Selo menyendiri di sebelah timur Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, ia menulis ajaran untuk memberi pengaruh kepada rakyat. Filsafat hidup Ki Ageng Selo merupakan sintesa antara agama Hindu dan Islam. Mulai edisi ini redaksi akan menurunkan ajaran atau filsafat Ki Ageng Selo.
BAGIAN I
Filsafat tersebut ditulis dalam bentuk tembang, pada bagian I ajaran Ki ageng Selo ditulis dalam Pupuk Dandanggula.berisi 17 padha.
Padha 1.
Pepali-ku ajinen mberkati,
Tur selamet sarta kuwarasan,
Pepali iku mangkene :
Aja agawe angkuh,
aja landak lan aja jail,
Aja ati serakah,
Lan aja celimut,
Lan aja mburu aleman,
Aja landak, wong landak pa gelis mati,
Lan aja ati ngiwa.
Terjemahan bebasnya :
Pepaliku amalkanlah agar memberi berkah, juga memberikan keselamatan dan kesehatan, Pepali itu sebagai berikut : Jangan bersikap angkuh, jangan bengis dan jangan jail, jangan berhati serakah, dan jangan suka mengambil milik orang, jangan memburu pujian, jangan bengis, orang bengis itu akan cepat mati, dan jangan berhati selingkuh
Analisa :
Padha atau bait I dari pupuh Dandanggula dapat dijelaskan pepali berarti ajaran, petuah atau aturan. Jika orang mau menjalankan pepali Ki Ageng Selo mereka akan mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu hidupnya akan selamat dan mendapat kesehatan jasmani.
Ajaran agar tidak bersikap angkuh, bengis, jahil atau suka mencari perkara, tidak serakah dan tidak mengambil milik orang serta tidak memburu pujian merupakan sikap yang disenangi oleh Tuhan. Orang yang bersikap bengis akan berumur pendek, karena sifat bengis selalu didasari oleh sifat dendam.
Menurut Sidarta Budha Gautama, dendam itu seperti bara yang berada di dalam dada. Orang yang memiliki dendam sepertinya hendak melemparkan bara itu kepada musuh-musuhnya, tetapi bara itu tidak akan pernah mengenai musuhnya, justru akan berbalik menghantam dirinya sendiri. Dari hukum sebab akibat ini, maka Ki Ageng Selo menyatakan bahwa orang bengis akan berumur pendek..
Sedangkan pada kalimat terakhir disebutkan aja ati ngiwa, kata ngiwa dalam konteks pengertian Jawa adalah segala perbuatan yang tidak sepantasnya, atau tidak bolah diperlihatkan kepada kalayak. Maksud dari kata aja ati ngiwa atau jangan berhati kekiri adalah jangan berbuat selingkuh terhadap siapa saja.
Padha 2
Padha sira titirua kaki,1
Jalma patrap iku kasihana,
Iku arahen sawabe,
Ambrekati wong iku,
Nora kena sira wadani,
Tiniru iku kena,
Pambegane alus,
Yen angucap ngarah-arah,
Yen alungguh nora pegat ngati-ati,
Nora gelem gumampang.
Terjemahan bebasnya :
Kamu sekalian menirulah “kaki” (wahai manusia), manusia beretika itu cintailah, carilah sawabnya (tuahnya), memberi berkah orang itu, tidak boleh kamu mencelanya, lebih baik menirunya, pendiriannya halus, kalau mengucap berhati-hati, kalau duduk tiada putus-putusnya berhati-hati, tidak suka menyepelekan segala sesuatu.
Analisa :
Arti kata “kaki” dalam pepali Ki ageng Selo bukan dimaksudkan menunjuk anggota tubuh, tetapi kaki di sini artinya sebuah sebutan bagi manusia yang sudah memenuhi kewajiban atau dewasa. Sedangkan arti kata janma patrap adalah manusia yang beretika atau manusia yang dalam kesehariannya senantiasa bersikap santun, etis dan menghargai orang lain.
Sumber : Pepali Ki Ageng Selo