8.14.2007

5 falsafah Jawa

Ada 5 falsafah jawa yang berguna untuk kita menghadapi perjalanan
kehidupan kita.
1. Kukilo (Burung)
2. Wanito (Wanita)
3. Curigo (Waspada)
4. Turonggo (Kuda)
5. Wismo (Rumah)

1. Kukilo (Burung)
Kebanyakan orang jawa selalu memelihara binantang peliharaan, dan
kebanyakan pula binatang peliharaan yang umum di rawat adalah burung perkutut. Karena suaranya yang bagus merdu dan menentramkan suasana.
Didalam kehidupan ini kita harus bisa mengikuti burung perkutut,
yaitu dengan selalu bersuara yang bagus untuk didengar oleh orang
lain, tidak selalu mengeluarkan suara yang bisa menyakiti hati orang lain.

2. Wanito (Wanita)
Wanita secara universal melambangkan kelembutan, cinta kasih,
perasaan sayang. Kita hidup didunia pastilah berada ditengah-tengah
manusia dan makhluk lainnya. Kita harus selalu memberikan rasa
kelembutan kita, cinta kasih kita dan rasa sayang kita kepada semua makhluk ciptaan sang Maha Kuasa.

3. Curigo (Waspada)
Didunia kita pasti tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita
beberapa detik, menit atau jam kedepan. Dengan sikap waspada ini maka kita diharapkan bisa selalu waspada akan gerak dan sega tingkah laku kita agar kejadian yang akan datang tidak menjadikan penderitaan pada diri kita sendiri. Curigo juga bisa diartikan dengan Eling terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena Beliau lah yang menciptakan masa lalu, masa sekarang dan masa depan kita.

4. Turonggo (Kuda)
Untuk dapat mengendalikan kuda disaat kita menungganginya, maka tali kendali yang harus kita pegang erat. Dalam kehidupan pengendalian diri akan segala nafsu dan ego harus kita kendalikan. Bukan dengan mengumbar nafsu, ego dan angkara murka.

5. Wismo (Rumah)
Rumah, setiap kali kita pergi pasti akan kembali kerumah. Dari sini diartikan kita hidup didunia ini hanya keluar sebentar dari rumah
kita yang sebenarnya, dan suatu saat pasti akan kembali ke rumah
abadi kita yaitu rumah Tuhan. Dan kita selagi didunia harus tahu apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh untuk-NYA agar kita lebih disayang oleh Beliau.
(Disadur dari: bagus site)

7.24.2007

Filsafat Angka : simbol dari sifat energi alam

(Disadur dari:bhumijawa.com)
Para leluhur kita, pada jaman dulu telah mengenal istilah angka, yang diramu sedemikian rupa dan dinamai hitungan atau pethung. Dalam konsep Jawa angka atau pethung memiliki falsafah, yang diambil dari menterjemahkan energi alam Maka angka yang juga disebut pethung memiliki daya atau energi dari alam. Para leluhur Jawa sudah menyebtkan bahwa angka itu mengandung sifat dan pengaruh dalam kehidupan. Sifat angka menurut para leluhur Jawa bisa disebutkan sebagai berikut :
1 (satu) : awal mula, menyatu, sosok manusia atau eksistensi manusia,
fokus
2 (dua) : sempurnanya hidup manusia jika sudah berkeluarga arti angka
2 adalah keluarga
3 (tiga) : orang hidup memiliki tanggungjawab dan seringkali tergantung
pada orang lain
4 (empat) : orang hidup harus ingat pada saudara yang masih hidup atau
yang sudah meninggal, maka dapat disebut harus ingat kiblat
empat (arah). Juga memiliki falsafah orang hidup harus bekerja
supaya dapat penghidupan
5 (lima) : orang hidup punya kalimat, permintaan, doa dan angan-angan
6 (enam) : orang hidup punya kemantapan dan tatanan.
7 (tujuh) : orang hidup memiliki tujuan dan membutuhkan pertolongan,
petuah, penerang atau malah mendapat kegelapan.
8 (delapan) : orang hidup senang kemewahan, memiliki kesombongan,
tetapi jika berambisi mengejar kemewahan dan kesombongan
justru akan kuwalahan
9 (sembilan) : pencapaian tertinggi yang dicari manusia hidup adalah
mencapai kesempurnaan, baik lahir maupun batin
0 (nol) : netral, suwung, kosong, tidak berisi.

Pengetahuan tentang hari
Penjaga hari dalam konsep Jawa adalah:
Hari Jumat dijaga oleh Nabi Muhammad SAW
Hari Sabtu dijaga oleh Nabi Adam AS
Hari Minggu dijaga oleh Nabi Musa AS
Hari Senin dijaga oleh Nabi Ibrahim AS
Hari Selasa dijaga oleh Nabi Isa AS
Hari Rabu dijaga oleh Nabi Nuh AS
Hari Kamis dijaga oleh Siti Fatimah

Pethung Hari
Jumat : 6
Sabtu : 9
Minggu : 5
Senin : 4
Selasa : 3
Rabu : 7
Kamis : 8

Pethung Pasaran
Pon : 7
Wage : 4
Kliwon : 8
Legi : 5
Paning : 9

Pasaran, pethung, letak, warnanya dan sifatnya
Pon : 7
Letak : barat
Warnanya : ijo pupus, kuning, biru
Sifat : kuat jika punya permohonan
Wage : 4
letak : utara
Warnanya : hitam
Sifat : kontemplasi atau mawas diri dan harus ingat kepada saudara
Kliwon : 8
Letak : di tengah
Warnanya : aneka warna / pelangi
Sifat : waspada
Legi : 5
Letak : timur
Warnanya : putih
Sifat : beban yang berat dalam mengarungi hidup
Paing : 9
Letak : selatan
Warnanya : merah
Sifat : nekat.

Petung hari dan pasaran ini dapat digunakan untuk banyak bidang, mulai dari menganalisa potensi diri manusia, kelemahan manusia, rejeki, jodoh, mendeteksi tamu yang datang di rumah, dan lain-lain.
Angka atau petung juga dapat dipergunakan untuk mengetahui sifat manusia, dengan menjumlahkan petung hari dan pasaran maka dapat diketahui bagaimana sifat yang dimiliki manusia.
Hitungan hari jika ditambah dengan hitungan pasaran ketemu :
7 = sifatnya Bumi
Sifatnya manusia : orangnya pendiam, gampang ngambek, kurang
tajam pemikirannya dan suka menganggu teman lawan jenis
8 = sifatnya Geni
Sifatnya manusia : orangnya panas hati, ada bakat perang, dengki,
kalau wanita bisa membuat cilaka
9 = sifatnya Ngaras Peksi / lakunya angin
Sifatnya manusia : pendiam bagai pendeta, suka berpindah tempat,
suka dipuji, tak tenang hatinya.
10 = sifatnya Pepet/ Pandita Sakti
Sifatnya manusia : Pendiam, banyak akal, mudah mengerti, tempat
pertanyaan, bisa mendukun, suka membual, namanya bisa tersohor
karena sastra
11 = sifatnya Ngaras Tuding / Lakunya Setan
Sifatnya manusia : Berani berpergian malam hari, berani, suka
menjual pakaian atau sesuatu yang dimilikinya, suka menginginkan
milik tetangga
12 = sifatnya Kembang
Sifatnya manusia : Tidak banyak anak, tetapi banyak teman, pria/wanita
mudah menurut kepadanya.
13 = sifatnya Lintang
Sifatnya manusia : Pendiam dan sabar, tetapi tidak mempunyai
saudara, tak punya nafsu dan tahan berjalan di waktu malam,
ditakdirkan bisa berdagang dan bisa pandai bicara, tak dapat dihalang-
halangi kemauannya.
14 = sifatnya Rembulan
Sifatnya manusia : bisa mengerjakan segala macam pekerjaan, dan
sebentar saja bisa hidup senang lekas pandai jika menerima
pelajaran, diturut orang, luas budinya, tetapi agak pemalu dan tidak
kaya.
15 = sifatnya Matahari
Sifatnya manusia : manis bicaranya dan mudah memaklumi orang,
tetapi jelek jika bertengkar, segala sesuatau selalu direnungkan,
celanya tidak bisa membatasi nafsu makannya
16 = sifatnya Air / banyu
Sifatnya manusia : suka memerintah sesamanya, budi pekerti dan
pendiriannya kuat, ingin selalu tersedia makanan, punya wawasan
luas, jika tidak berjodoh suami/istri suka bertengkar.
17 = sifatnya Gertak Bumi
Sifatnya manusia : Jika bekerja kadang mencelakakan, tutur katanya
bersahaja, sering tidak menepati janji, suka meremehkan sesamanya
sehingga tidak banyak teman, tetapi kata-katanya apa adanya.
18 = sifatnya Gertak Geni
Sifatnya manusia : Pemarah, bicaranya asal buka mulut tak
mempedulikan raut muka lawan bicaranya, tertawanya terkesan
mencemooh, bila marah mudah berubah karena pada dasarnya ia
penakut.

Sumber : Primbon dan Serat Jawa

Satu Suro : 375 Tahun yang Lalu

(Disadur dari: bhumijawa.com)
Bulan Maret 2003, sebagian masyarakat merayakan dua tahun baru sekaligus: 1 Muharam 1424 H dan 1 Suro 1936 Saka Jawa. Dalam kalender 2003 M (Masehi), 1 Muharam 1424 H bertepatan dengan hari Selasa (4/3). Tanggal 1 Suro 1936 bertepatan dengan hari Rabu (5/3). Suro adalah bulan pertama penanggalan Jawa. Pergantian tahun Hijriah dan tahun Jawa hampir selalu bersamaan. Hal ini bisa dipahami karena sejak 370 tahun lalu kalender Jawa mengadopsi sistem penanggalan Hijriah yang berdasarkan pergerakan Bulan mengelilingi Bumi.

Penanggalan Jawa
Awalnya, hingga 1633 M masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan Matahari. Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India. Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1633 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar sistem penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat dibaca dalam buku Primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 Taun yang ditulis dalam bahasa Jawa.
Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem Syamsiyah (Matahari) menjadi Komariyah (Bulan). Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk wilayah Mataram. Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem penanggalan tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1, melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini.
Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian-penyesuaian seperti nama bulan (month) dan hari (day). Yang semula menggunakan bahasa Sansekerta menjadi bahasa Arab atau mirip bahasa Arab. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa.

Perbedaan Kalender
Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalannya sama yaitu penampakan Bulan, kalender Jawa bukanlah kalender Hijriah. Meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, kalender Jawa tidak mengikuti aturan penanggalannya. Kalender Jawa lebih tepat disebut sebagai penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah. Konsep hari pasaran yang terdiri dari lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon) merupakan wujud unsur-unsur Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah dan Masehi. Siklus delapan tahunan yang disebut Windu juga merupakan konsep penanggalan khas Jawa. Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
Secara astronomis, kalender Jawa tergolong mathematical calendar, sedangkan kalender Hijriah astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong mathematical calendar. Adapun astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam sendiri seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai mathematical calendar membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.

Budaya yang dilupakan
Sebagai sebuah sistem penanggalan, penanggalan Jawa merupakan salah satu produk budaya asli bangsa Indonesia. Sistem penanggalan Jawa tersebut, seperti halnya budaya Jawa lainnya, perlahan mulai hilang dari peredaran. Untunglah masih ada tradisi Suroan yang melekat dalam masyarakat Jawa dan diperingati secara rutin oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Masyarakat yang merayakan Suroan akan membersihkan diri dengan mandi di rumah, sungai, laut, diteruskan dengan begadang hingga pagi. Suroan juga dipercaya sebagai saat yang tepat untuk mencuci pusaka seperti keris dan tombak.

Ditulis oleh : Hendro Setyanto (Asisten Observatorium Bosscha)

Pepali Ki Ageng Selo : Filsafat hidup agar manusia berumur panjang

(di sadur dari bhumijawa.com)
Ki Ageng Selo adalah nama yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa hingga saat ini. Ia identik dengan petir, setiap ada petir menyambar di langit, orang Jawa akan teringat sebuah nama Ki Ageng Selo. Berdasarkan mitologi Jawa, Ki Ageng Selo yang juga seorang petani, ketika akan turun hujan, ia masih berada di sawah. Sesaat kemudian muncul petir yang menyambar ke arahnya, petir itupun ditangkap lalu diserahkan kepada penguasa Demak.
Bentuk fisik petir yang ditangkap Ki Ageng Selo berupa setengah naga dan setengah buaya. Bentuk petir ini sampai sekarang dapat dilihat dalam bentuk relief yang dibuat dipintu masuk Masjid Agung Demak..
Menurut silsilahnya Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir, ia juga moyang dari pendiri kerajaan Mataram kedua yaitu Sutawijaya. Semasa hidupnya Ki Ageng Selo pernah melamar menjadi pasukan kerajaan Demak, tetapi tidak lulus. Karena ketika ia memukul banteng dalam ujiannya, darah banteng muncrat mengenai matanya dan dia memalingkan muka.
Iapun dianggap tidak tahan melihat darah, karena memalingkan muka, sehingga tidak diterima sebagai pasukan pengempur Kerajaan Demak. Malu karena tidak diterima sebagai pasukan, ia berniat membangun kerajaan sendiri. Kalaupun ia belum berhasil, maka anak keturunannya diharapkan bisa mendirikan kerajaan. Maksud untuk mendirikan kerajaan sendiri dapat diwujudkan oleh cicitnya, Sutawijaya yang bergelar Penambahan Senopati ing Ngalaga (Yang Dipertuan Panglima Perang).
Selama Ki Ageng Selo menyendiri di sebelah timur Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, ia menulis ajaran untuk memberi pengaruh kepada rakyat. Filsafat hidup Ki Ageng Selo merupakan sintesa antara agama Hindu dan Islam. Mulai edisi ini redaksi akan menurunkan ajaran atau filsafat Ki Ageng Selo.

BAGIAN I
Filsafat tersebut ditulis dalam bentuk tembang, pada bagian I ajaran Ki ageng Selo ditulis dalam Pupuk Dandanggula.berisi 17 padha.

Padha 1.
Pepali-ku ajinen mberkati,
Tur selamet sarta kuwarasan,
Pepali iku mangkene :
Aja agawe angkuh,
aja landak lan aja jail,
Aja ati serakah,
Lan aja celimut,
Lan aja mburu aleman,
Aja landak, wong landak pa gelis mati,
Lan aja ati ngiwa.

Terjemahan bebasnya :
Pepaliku amalkanlah agar memberi berkah, juga memberikan keselamatan dan kesehatan, Pepali itu sebagai berikut : Jangan bersikap angkuh, jangan bengis dan jangan jail, jangan berhati serakah, dan jangan suka mengambil milik orang, jangan memburu pujian, jangan bengis, orang bengis itu akan cepat mati, dan jangan berhati selingkuh

Analisa :
Padha atau bait I dari pupuh Dandanggula dapat dijelaskan pepali berarti ajaran, petuah atau aturan. Jika orang mau menjalankan pepali Ki Ageng Selo mereka akan mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu hidupnya akan selamat dan mendapat kesehatan jasmani.
Ajaran agar tidak bersikap angkuh, bengis, jahil atau suka mencari perkara, tidak serakah dan tidak mengambil milik orang serta tidak memburu pujian merupakan sikap yang disenangi oleh Tuhan. Orang yang bersikap bengis akan berumur pendek, karena sifat bengis selalu didasari oleh sifat dendam.
Menurut Sidarta Budha Gautama, dendam itu seperti bara yang berada di dalam dada. Orang yang memiliki dendam sepertinya hendak melemparkan bara itu kepada musuh-musuhnya, tetapi bara itu tidak akan pernah mengenai musuhnya, justru akan berbalik menghantam dirinya sendiri. Dari hukum sebab akibat ini, maka Ki Ageng Selo menyatakan bahwa orang bengis akan berumur pendek..
Sedangkan pada kalimat terakhir disebutkan aja ati ngiwa, kata ngiwa dalam konteks pengertian Jawa adalah segala perbuatan yang tidak sepantasnya, atau tidak bolah diperlihatkan kepada kalayak. Maksud dari kata aja ati ngiwa atau jangan berhati kekiri adalah jangan berbuat selingkuh terhadap siapa saja.

Padha 2
Padha sira titirua kaki,1
Jalma patrap iku kasihana,
Iku arahen sawabe,
Ambrekati wong iku,
Nora kena sira wadani,
Tiniru iku kena,
Pambegane alus,
Yen angucap ngarah-arah,
Yen alungguh nora pegat ngati-ati,
Nora gelem gumampang.

Terjemahan bebasnya :
Kamu sekalian menirulah “kaki” (wahai manusia), manusia beretika itu cintailah, carilah sawabnya (tuahnya), memberi berkah orang itu, tidak boleh kamu mencelanya, lebih baik menirunya, pendiriannya halus, kalau mengucap berhati-hati, kalau duduk tiada putus-putusnya berhati-hati, tidak suka menyepelekan segala sesuatu.

Analisa :
Arti kata “kaki” dalam pepali Ki ageng Selo bukan dimaksudkan menunjuk anggota tubuh, tetapi kaki di sini artinya sebuah sebutan bagi manusia yang sudah memenuhi kewajiban atau dewasa. Sedangkan arti kata janma patrap adalah manusia yang beretika atau manusia yang dalam kesehariannya senantiasa bersikap santun, etis dan menghargai orang lain.

Sumber : Pepali Ki Ageng Selo

7.20.2007

Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Ramayana dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak

(Suhardi, Wisnu Subagyo)

Wayang adalah sebuah karya seni yang penuh simbol dan nilai-nilai filosofi tentang kehidupan manusia. Ia banyak menampilkan aspek-aspek dan problem-problem kehidupan manusia baik sebagai individu maupun warga masyarakat luas. Wayang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada jamannya. Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbagai pewatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Misal watak baik, buruk, kesetiaan dan lain-lain.

Ada banyak tokoh dalam seri Ramayana. Karena berbagai keterbatasan tokoh yang dijadikan contoh terutama Dewi Shinta, Raden Gunawan Wibisana, Raden Subali, Raden Sugriwa dan Patih Prahasta.

Dewi Shinta adalah putri Prabu Janaka dari kerajaan Mantili. Ia menjadi istri Rama setelah melalui sayembara. Raden Gunawan Wibisana adalah putra Dewi Sukesi dengan Resi Wisrawa. Ia terpaksa meninggalkan negara Alengka dan berpihak pada Rama karena tidak setuju dengan perbuatan kakaknya (Prabu Dasamuka raja Alengka) yang menculik Sinta. Raden Subali dan Sugriwa adalah putra Resi Gotama dan Dewi Windradi. Semula mereka berwajah tampan dengan nama Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi. Akibat perbuatannya sendiri (berebut sebuah cupu) mereka berubah wujud menjadi kera dan namanya pun ikut diganti. Patih Prahasta adalah putra Prabu Sumali dengan Dewi Danuwati. Prahasta adalah adik Dewi Sukesi dan pada waktu Dasamuka mendi raja ia diangkat menjadi patihnya.

Kelima tokoh di atas memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri yang bisa diambil hikmahnya dalam kehidupan kita. Banyak nilai-nilai yang dapat diambil dan dipelajari.

Nilai kesetiaan.
Nilai kesetiaan pada Dewi Shinta sangat jelas. Dia rela menderita dengan ikut Rama hidup di hutan. Juga ketika dalam cengkeraman Raja Dasamuka yang ingin memperistrinya, ia tak bergeming sedikit pun walaupun diiming-imingi berbagai hal. Selain kesetiaan hal ini juga menunjukkan kesucian hatinya. Nilai kesetiaan juga diperlihatkan oleh Patih Prahasta yang rela mati (dalam perang melawan Rama). Ia rela mati bukan membela Dasamuka yang angkara murka, tetapi karena kesetiaan pada negaranya dan ketidakrelaannya melihat prajurit Alengka banyak yang mati atau menderita karena perang melawan pasukan Rama.

Nilai kepatuhan.
Kepatuhan memiliki nilai tinggi (dihargai dan dihormati) buat orang yang menjalankannya, karena menjadi tolok ukur tentang kehormatan, harga diri dan kepahlawanan seseorang. Dewi Shinta patuh ketika menerima nsehat ayahnya untuk mengadakan sayembara memilih suami. Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi (Subali dan Sugriwa) mematuhi perintah ayahnya untuk bertapa memohon ampun pada Tuhan sebagai penebus perbuatannya.

Nilai kepemilikan.
Memiliki sesuatu itu (misal rumah, gelar, istri/suami) ada aturan atau undang-undangnya. Artinya siapapun yang memiliki sesuatu keberadaannya dilindungi undang-undang. Rama yang telah memiliki Shinta tidak dapat diganggu gugat. Shinta yang telah “dimiliki” Rama (sebagai suami) pun berusaha menjaga nilai kepemilikan tersebut. Prahasta yang merasa memiliki negara Alengka merelakan kematiannya karena membela negaranya. Ia mati demi harga dirinya dan harga diri negara, bukan membela Dasamuka yang angkara murka.

Nilai kearifan dan kebijaksanaan.
Arif berarti tahu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah sifat dan sikap yang dapat menempatkan suatu masalah pada proporsi yang benar menurut aturan yang berlaku. Karena itu rasa moral yang tinggi seharusnya melandasi semua pikiran dan tingkah laku pemimpin. Dasamuka adalah raja yang tidak arif dan bijaksana sehingga membawa kehancuran bagi rakyat dan negaranya. Wibisana adalah tokoh yang arif dan bijaksana serta luas pengetahuannya. Wibisana selalu menghargai pendapat orang lain baik penguasa maupun rakyat kecil, selalu dapat menimbang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Nilai ksatria.
Sifat satria adalah sifat yang selalu membela kebenaran, tidak takut menghadapi kesulitan serta bersedia mengakui kekurangan atau kesalahannya. Atas dasar hal tersebut Wibisana berani mengesampingkan nilai “berbakti” pada kakaknya. Ia dengan berani tidak henti-hentinya menasehati Dasamuka agar mengembalikan Shinta pada Rama, walaupun akibatnya ia diusir oleh kakaknya. Wibisana rela meninggalkan kemewahannya di Alengka sebagai konskuensi dari tindakannya. Hal ini juga mencerminkan sikap keteguhan hatinya.

Nilai pengendalian diri.
Pengendalian diri adalah sikap batin manusia dalam usaha mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaaskan pamrihnya untuk mendapatkan keselarasan hidup. Sugriwa dan Subali adalah gambaran manusia yang kurang bisa mengendalikan diri. Sekalipun mengetahui ibunya telah menjadi tugu, mereka belum sadar akan perbuatannya dan tetap berebut sebuah cupu, penyebab malapetaka keluarga Resi Gotama.

Nilai ketekunan dan keuletan.
Ketekunan dan keuletan diartikan sebagai sikap tidak menyerah pada berbagai rintangan atau hambatan yang dihadapi demi mencapai cita-cita atau tujuan (terlepas dari baik atau buruk tujuan tersebut). Subali dan Sugriwa dengan sekuat tenaga berusaha memiliki cupu, juga dengan tekun dan ulet melaksanakan tapa yang berat sebagai penebus perbuatannya.

Nilai etika.
Berdasarkan etika seseorang harus dapat membedakan hal yang buruk dan baik, hal yang benar dan hal yang salah. Prahasta adalah gambaran orang yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Ia penasehat Prabu Dasamuka sekalipun nasehatnya tidak pernah diperhatikan. Ia menghadapi “buah simalakama” tetapi tetap harus memilih. Akhirnya ia memilih menjadi senapati Alengka bukan karena membela Dasamuka tetapi membela negaranya.

Dari uraian di atas jelas terkandung nilai-nilai pendidikan, baik pendidikan yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia maupun manusia dengan lingkungan alam. Yang baik adalah manusia bisa menjaga keharmonisan hubungan tersebut.
(Di sadur dari Tembi.org)

WANI NGALAH LUHUR WEKASANE

(oleh: Sartono)
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.

Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.

Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.

Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.
(di Kutip dari Tembi.org)

Membangun Generasi dalam Konsep Jawa

(Ditulis oleh : Sis Daryanto)
Meletakkan Dasar Berpikir
Dalam kontek ajaran Jawa, muncul pemahaman bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan sifat adil. Manusia lahir membawa rejeki yang relatif sama, kepandaian, keselamatan dan umur yang relatif sama pula. Konsep penciptaan yang adil tersebut, tak pelak disangkal oleh orang-orang rasional yang berbasis teori barat. Anti tesa yang dimunculkan adalah, mengapa masing-masing orang memiliki nasib yang berbeda, ada yang kaya, miskin, umur pendek atau bernasib sial dibandingkan orang lain.
Bahwa perbedaan itu timbul, sebenarnya karena pengaruh interaksi antara manusia dengan alam semesta. Manusia lahir dengan hari dan pasaran yang berbeda, jam, menit dan detik yang berbeda, bulan, tahun atau dari orang tua yang berbeda, dengan sejarah perjalanan leluhurnya yang berbeda-beda pula.
Masing-masing unsur di atas membawa pengaruh pada sosok seorang manusia. Belum lagi ketika manusia satu berinteraksi dengan manusia lainnya, jelas akan saling mempengaruhi, akan muncul sebuah sifat dari terjadinya hubungan tersebut.

Pengaruh Alam
Alam sebagai ciptaan Tuhan, adalah mahluk yang memiliki energi hidup, demikian juga dengan hari, waktu, bulan, tahun merupakan bagian dari alam itu sendiri. Manusia lahir sudah menempati hari, pasaran dan waktu. Sedangkan hari, pasaran dan waktu memiliki energi hidup yang berpengaruh pada diri manusia. Maka sejak manusia lahir sudah dapat diketahui sifat apa yang akan dimiliki oleh si bayi.
Sebuah “hari” memiliki sifat, pasaran (pon, wage, kliwon, legi, paing) juga memiliki sifat, sementara “waktu” juga memilki sifat. Misalnya dalam 24 jam sehari, dibagi dalam beberapa “saat” yaitu fajar, subuh, duha, luhur, asar, maghrib, isyak dan tengah malam.
Keterangan diatas hanyalah sekelumit penjelasan tentang bagaimana orang Jawa memahami energi hidup alam semesta. Bahwa alam memiliki energi hidup yang mampu mempengaruhi kahidupan manusia. Toh manusia betapapun tidak mampu melawan energi alam, yang dapat mereka lakukan hanyalah memanfaatkan energi itu untuk kepentingan tertentu.

Membangun Generasi Masa Depan
Membangun generasi masa depan adalah membangun tokoh-tokoh pemimpin yang tangguh. Para leluhur Jawa memberikan pesan bahwa untuk membangun pemimpin generasi yang tangguh harus dilandasi oleh back ground yang kuat. Karena pemimpin dimanapun selalu menjadi faktor dominan dalam menentukan tercapainya tujuan komunitas.
Pada konsep yang lebih riil, memilih pemimpin harus memperhatikan back ground dan perilaku pemimpin itu sendiri. Selain kriteria pemimpin harus memiliki jiwa leadership, jujur, pandai, juga harus didukung oleh back ground yang kuat. Iapun harus memiliki pengalaman memimpin, meski hanya sebentar.
Jika seorang pemimpin tidak memiliki “wadah” yang kuat, bagaimana ia mampu membawa beban, memikul tanggungjawab orang banyak. Konsep Jawa menyebutkan seseorang menjadi pemimpin harus kuat menerima pangkat dan derajat. Artinmya apabila ia mendapat kedudukan tinggi maka ia mampu menerima konsekuensi dari tugas dan tanggungjawabnya.
Seseorang yang memiliki kakek dan orang tua dari kalangan bawah, bertabiat suka mabok, berjudi dan jarang berdoa, maka dia tidak akan mampu menjadi pemimpin yang tangguh. Orang dengan sejarah keturunan yang demikian tidak kuat menerima pangkat dan derajad. Kalaupun ia sempat memimpin, dapat diprediksikan dia akan gagal di tengah jalan. Kebanyakan mereka tidak mampu menyelesaikan tugasnya sebagai pemimpin sampai masa jabatan yang seharusnya dilaksanakan, kecuali dia sejak dini sudah gentur melakukan ritual.

Background Calon Pemimpin
Memilih pemimpin haruslah dilihat dari background atau latar belakang sejarahnya. Konteks dari cara pandang ini adalah untuk mencari tokoh yang kuat menerima pangkat dan derajad. Background sejarah yang dimaksud adalah melihat garis keturunan mulai dari kakek dan orang tuanya.
Latar bekang sejarah yang kuat untuk seorang pemimpin apabila ia memiliki kakek dan orang tua yang “kuat laku prihatin.” Artinya kakek dan orang tuanya sering melakukan puasa dan berdoa untuk keselamatan anak cucunya. Paling tidak jika sejarah leluhurnya tidak memiliki budaya ritual yang kuat, paling tidak dilihat dari pekerjaan yang dilakukan leluhurnya.
Background yang kuat untuk seorang calon pemimpin adalah bila orang tuanya memiliki pekerjaan sebagai Lurah di Desa atau seorang guru Taman Kanak-Kanak dan Guru Sekolah dasar. Lurah di desa adalah pemimpin sebenarnya yang berada di tingkat basis. Sedangkan guru Taman Kanak-Kanak dan guru Sekolah Dasar dia memiliki keistimewaan mengajari anak yang belum tahu apa-apa menjadi bisa menulis dan membaca.
Mengapa puasa dan doa menjadi sebuah kekuatan bagi seseorang ? dalam pemahaman orang Jawa sebuah doa adalah energi hidup. Sebuah kata, sebuah kalimat, ucapan adalah energi hidup. Terlebih bila kata yang dirangkai menjadi sebuah doa yang cara merangkaianya melalui laku ritual, maka ia merupakan energi hidup yang luar biasa.
Bagi kalangan muslim, sebenarnya Al-Quran dengan tulisan-tulisan surat di dalamnya menyimpan potensi energi yang besar. Ketika tulisan itu dibiarkan dan hanya dilihat, maka Al-Quran hanyalah tampak sebagai sebuah buku atau kitab. Tetapi jika surat-surat yang ada di dalamnya dibaca apalagi dengan keyakinan penuh, maka kalimat yang keluar dengan lafal-lafal itu menjadi energi hidup.
Begitupun dengan mantra yang dirangkai dengan menggunakan bahasa apapun, saat mantra diucapkan maka akan bangkit sebuah energi hidup. Terlebih jika mantra itu diucapkan dengan didasari puasa, energi yang muncul akan berlipat. Konsep puasa adalah membuat fisik menjadi lemah, untuk membangkitkan kekuatan non fisik. Karena menurut konsep Jawa kekuatan manusia bukan pada fisik tetapi pada non fisik. Yaitu sebuah konsep “raga titihane nyawa.”
Maka bila seseorang berpuasa lalu mengucapkan doa, akan bangkit sebuah energi hidup dan akan bergerak serta bekerja sesuai arah yang dikehendaki. Leluhur orang Jawa telah memberikan ajaran, supaya kita “gentur” puasa dan berdoa meminta keselamatan untuk anak keturunan kita.

Menjadi Background
Mengingat kekuatan seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah leluhurnya, khususnya kakek dan orang tuanya, dan ketika kita menyadari diri kita tidak memiliki latar belakang yang kuat, tidaklah bijaksana bila kita menyalahkan leluhur.
Dalam kondisi apapun, seharusnya menjadi tugas kita untuk membangun latar belakang yang kuat untuk anak keturunan kita. Sehingga suatu saat nanti Indonesia akan memiliki manusia-manusia yang kuat, mampu mambawa Indonesia mencapai kejayaan.
Adalah sebuah keniscayaan, apabila seluruh rakyat Indonesia bersama-sama melakukan ritual puasa dengan memanjatkan doa untuk keselamatan bangsa ini dan anak keturunan kita, maka tidak perlu menunggu satu generasi, Indonesia akan bangkit.
Tidak perlu semua rakyat Indonesia dan tidak perlu melakukan ritual dalam jangka waktu lama, andai 10 persen saja penduduk Indonesia mau melakukan ritual secara bersama-sama, selama dua puluh satu hari saja, maka sebuah kekuatan energi dahsyat akan mengantarkan kita mencapai kemakmuran yang dramatis. Tentunya untuk melakukan ritual ini mensyaratkan beberapa hal, yaitu :
- semua dilakukan dengan keyakinan
- memilih tempat berdoa yang bersih, artinya lokasinya bukan di tanah yang
sengketa, memiliki bio energi yang bagus.
- dilakukan dengan prosedur yang benar, setidaknya menurut orang-orang
yang lebih berpengalaman di bidang ritual.

Sumber : Berbagai Sumber