7.24.2007

Satu Suro : 375 Tahun yang Lalu

(Disadur dari: bhumijawa.com)
Bulan Maret 2003, sebagian masyarakat merayakan dua tahun baru sekaligus: 1 Muharam 1424 H dan 1 Suro 1936 Saka Jawa. Dalam kalender 2003 M (Masehi), 1 Muharam 1424 H bertepatan dengan hari Selasa (4/3). Tanggal 1 Suro 1936 bertepatan dengan hari Rabu (5/3). Suro adalah bulan pertama penanggalan Jawa. Pergantian tahun Hijriah dan tahun Jawa hampir selalu bersamaan. Hal ini bisa dipahami karena sejak 370 tahun lalu kalender Jawa mengadopsi sistem penanggalan Hijriah yang berdasarkan pergerakan Bulan mengelilingi Bumi.

Penanggalan Jawa
Awalnya, hingga 1633 M masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan Matahari. Penanggalan Matahari dikenal sebagai Saka Hindu Jawa, meskipun konsep tahun Saka sendiri bermula dari sebuah kerajaan di India. Tahun Saka Hindu 1555, bertepatan dengan tahun 1633 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep dasar sistem penanggalan Matahari menjadi sistem Bulan. Perubahan sistem penanggalan dapat dibaca dalam buku Primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 Taun yang ditulis dalam bahasa Jawa.
Dari naskah tersebut diketahui bahwa Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengubah sistem penanggalan yang digunakan, dari sistem Syamsiyah (Matahari) menjadi Komariyah (Bulan). Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk wilayah Mataram. Perubahan sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Pergantian sistem penanggalan tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun 1, melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga saat ini.
Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian-penyesuaian seperti nama bulan (month) dan hari (day). Yang semula menggunakan bahasa Sansekerta menjadi bahasa Arab atau mirip bahasa Arab. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa.

Perbedaan Kalender
Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalannya sama yaitu penampakan Bulan, kalender Jawa bukanlah kalender Hijriah. Meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, kalender Jawa tidak mengikuti aturan penanggalannya. Kalender Jawa lebih tepat disebut sebagai penggabungan unsur-unsur Jawa dengan penanggalan Hijriah. Konsep hari pasaran yang terdiri dari lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) dan Wuku (Pawukon) merupakan wujud unsur-unsur Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah dan Masehi. Siklus delapan tahunan yang disebut Windu juga merupakan konsep penanggalan khas Jawa. Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
Secara astronomis, kalender Jawa tergolong mathematical calendar, sedangkan kalender Hijriah astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong mathematical calendar. Adapun astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam sendiri seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai mathematical calendar membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.

Budaya yang dilupakan
Sebagai sebuah sistem penanggalan, penanggalan Jawa merupakan salah satu produk budaya asli bangsa Indonesia. Sistem penanggalan Jawa tersebut, seperti halnya budaya Jawa lainnya, perlahan mulai hilang dari peredaran. Untunglah masih ada tradisi Suroan yang melekat dalam masyarakat Jawa dan diperingati secara rutin oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Masyarakat yang merayakan Suroan akan membersihkan diri dengan mandi di rumah, sungai, laut, diteruskan dengan begadang hingga pagi. Suroan juga dipercaya sebagai saat yang tepat untuk mencuci pusaka seperti keris dan tombak.

Ditulis oleh : Hendro Setyanto (Asisten Observatorium Bosscha)

Tidak ada komentar: